Nyeser, Ritual
Mengusir Hantu
Oleh:
Antonius Sutatian
Umumnya dimasa kini orang lebih
realistis, dan berpikir lurus terhadap suatu tindakan yang berada diluar nalar,
terutama mereka yang tinggal diperkotaan. Namun cara
berpikir seperti itu kebanyakan berbanding terbalik dengan masyarakat yang
tinggal diperkampungan, Dayak Taba yang ada di Batang Tarang, Kabupaten Sanggau
misalnya, mereka tetap berpeggang teguh pada nilai-nilai adat-istiadat, budaya
tradisi yang diyakini dapat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, dan roh.

Budaya tradisi unik ini dilangsungkan
secara turun-temurun dari zaman nenek moyang masyarakat Taba, dan mampu
bertahan ditengah kehidupan budaya moderen. Tata cara pelaksanaannya pun amat kental,
membuat kehidupan sosial budaya mereka nampak berbeda dengan masyarakat lain
yang tinggal disekitar.
Ritual nyeser amat erat kaitannya dengan kehidupan kearifan lokal. Upacara ritual ini juga
dilakukan tidak sekedar bertujuan untuk mengusir roh jahat atau hantu yang
merusak tanaman, namun juga hewan peliharan, bahkan manusia. Dapat dikatakan
bahwa ritual ini termasuk tolak bala.
Upacara nyeser biasanya dilakukan sebelum menuai padi diladang atau sawah,
saat padi mulai menguning, dalam bahasa Taba “mata’k pade angot”. Digelar sekitar bulan Pebuari dan Maret.
Awal Mula Upacara Nyeser
Dahulu mata pencaharian
masyarakat Taba hanya berladang dan menoreh (menderes) getah (pohon karet).
Setiap tahunnya selalu saja ada gadis atau pemuda yang ditimpa musibah hingga
menyebabkan kematian.
Begitu juga dengan panen yang selalu gagal,
dan hewan ternak seringkali mati mendadak.
Masyarakat kemudian melakukan
perundingan yang disebut ngondong,
dihadiri
pemangku adat dan panglima untuk mencari tahu apa penyebabnya. Diketahuilah ternyata disebabkan oleh tujuh amot (hantu). Masyarakat pun sepakat mengusir hantu itu dengan
melakukan upacara yang disebut nyeser atau emburu amot (memburu hantu).
Nama-nama tujuh hantu itu adalah amot samper; yaitu hantu yang mengganggu
kesehatan penduduk, amot buah; hantu mengganggu buah ditembawang penduduk, amot rangka; hantu menggangu ternak
penduduk, amot bujang peranso; hantu mengganggu
ketentraman hati manusia, amot bu; hantu
mengganggu ternak ayam, amot buer; hantu
mengganggu makanan, amot reok; hantu
rakus.
Sebelum upacara dimulai. Disetiap penjuru jalan
dipasang ancak (sesaji) untuk meminta
keselamatan dari yang maha kuasa. Roh-roh
jahat,
diwujudkan dalam bentuk topeng yang terbuat dari kayu ringan, diperagakan oleh
manusia dengan tarian spontan alakadarnya namun dinamis, selaras mengikuti
alunan musik yang amat khas,
menggunakan peralatan musik tradisional, diantaranya kenong, gendang, gong
disertai paca pamang pelaksana adat,
dan tarian empat orang wanita paruh baya.
Meski terkesan sederhana, namun gerakannya
terlihat tegas menggambarkan atau mengekspresikan sosok mahluk yang mereka
perankan, yang dilakoni oleh tujuh orang pemuda dengan tubuh berbalut ijuk mayang
(enau) dari ujung tangan hingga kaki yang di ikat dengan rotan.
Pada upacara ini disiapkan
lanting seperti rumah kecil yang terbuat dari pelepah sagu. Didalamnya
berisikan sajian, diantaranya
baras salamat, nasi ketupat, sabang sungkai
(dalamnya berisi nasi), dua buah pancong
paleh (dalamnya berisi tuak dan air),
tumpi (cocor), purut (lemang), baras
emping, padi baru dan semua hasil panen seperti mentimun, jagung, peranggi,
labu, serta satu ekor anak ayam.
Setelah upacara selesai, pelaksana
adat dibantu warga
membawa lanting ke sungai untuk dihanyutkan. Mereka percaya para hantu
ikut
hanyut bersama lanting mengikuti arus sungai.