Jumat, 28 November 2014

Nyeser, Ritual Mengusir Hantu



Nyeser, Ritual Mengusir Hantu
Oleh: Antonius Sutatian

Umumnya dimasa kini orang lebih realistis, dan berpikir lurus terhadap suatu tindakan yang berada diluar nalar, terutama mereka yang tinggal diperkotaan. Namun cara berpikir seperti itu kebanyakan berbanding terbalik dengan masyarakat yang tinggal diperkampungan, Dayak Taba yang ada di Batang Tarang, Kabupaten Sanggau misalnya, mereka tetap berpeggang teguh pada nilai-nilai adat-istiadat, budaya tradisi yang diyakini dapat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, dan roh.

Meski acapkali dikatakan primitif, irasional oleh orang yang berpikir rasional atau mereka yang menganut faham moderen, masyarakat Taba tetap saja mempertahankan ideology budaya tradisi warisan leluhur mereka, satu diantaranya adalah timang-timang sabayot atau juga sering disebut upacara nyeser, yaitu sebuah ritual untuk mengusir roh jahat atau hantu, karena mereka percaya untuk melawan kekuatan roh jahat harus dengan cara-cara mistik.

Budaya tradisi unik ini dilangsungkan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang masyarakat Taba, dan mampu bertahan ditengah kehidupan budaya moderen. Tata cara pelaksanaannya pun amat kental, membuat kehidupan sosial budaya mereka nampak berbeda dengan masyarakat lain yang tinggal disekitar.

Ritual nyeser amat erat kaitannya dengan kehidupan kearifan lokal. Upacara ritual ini juga dilakukan tidak sekedar bertujuan untuk mengusir roh jahat atau hantu yang merusak tanaman, namun juga hewan peliharan, bahkan manusia. Dapat dikatakan bahwa ritual ini termasuk tolak bala.

Upacara nyeser biasanya dilakukan sebelum menuai padi diladang atau sawah, saat padi mulai menguning, dalam bahasa Taba “mata’k pade angot”. Digelar sekitar bulan Pebuari dan Maret.

Awal Mula Upacara Nyeser
Dahulu mata pencaharian masyarakat Taba hanya berladang dan menoreh (menderes) getah (pohon karet). Setiap tahunnya selalu saja ada gadis atau pemuda yang ditimpa musibah hingga menyebabkan kematian. Begitu juga dengan panen yang selalu gagal, dan hewan ternak seringkali mati mendadak.  

Masyarakat kemudian melakukan perundingan yang disebut ngondong, dihadiri pemangku adat dan panglima untuk mencari tahu apa penyebabnya. Diketahuilah ternyata disebabkan oleh tujuh amot (hantu). Masyarakat pun sepakat mengusir hantu itu dengan melakukan upacara yang disebut nyeser atau emburu amot (memburu hantu).

Nama-nama tujuh hantu itu adalah amot samper; yaitu hantu yang mengganggu kesehatan penduduk,  amot buah; hantu mengganggu buah ditembawang penduduk, amot rangka; hantu menggangu ternak penduduk, amot bujang peranso; hantu mengganggu ketentraman hati manusia, amot bu; hantu mengganggu ternak ayam, amot buer; hantu mengganggu makanan, amot reok; hantu rakus.

Tata Cara dan Peraga Ritual
Sebelum upacara dimulai. Disetiap penjuru jalan dipasang ancak (sesaji) untuk meminta keselamatan dari yang maha kuasa. Roh-roh jahat, diwujudkan dalam bentuk topeng yang terbuat dari kayu ringan, diperagakan oleh manusia dengan tarian spontan alakadarnya namun dinamis, selaras mengikuti alunan musik yang amat khas, menggunakan peralatan musik tradisional, diantaranya kenong, gendang, gong disertai paca pamang pelaksana adat, dan tarian empat orang wanita paruh baya.
 
Meski terkesan sederhana, namun gerakannya terlihat tegas menggambarkan atau mengekspresikan sosok mahluk yang mereka perankan, yang dilakoni oleh tujuh orang pemuda dengan tubuh berbalut ijuk mayang (enau) dari ujung tangan hingga kaki yang di ikat dengan rotan.

Pada upacara ini disiapkan lanting seperti rumah kecil yang terbuat dari pelepah sagu. Didalamnya berisikan sajian, diantaranya baras salamat, nasi ketupat, sabang sungkai (dalamnya berisi nasi), dua buah pancong paleh (dalamnya berisi tuak dan air), tumpi (cocor), purut (lemang), baras emping, padi baru dan semua hasil panen seperti mentimun, jagung, peranggi, labu, serta satu ekor anak ayam.

Setelah upacara selesai, pelaksana adat dibantu warga membawa lanting ke sungai untuk dihanyutkan. Mereka percaya para hantu ikut hanyut bersama lanting mengikuti arus sungai.


Bakangkokng, Ritual Penyembuhan Orang Sakit
Oleh: Antonius Sutatian

Bakangkokng, begitulah orang Dayak Kanayatn yang ada di Dusun Jabeng, Desa Mamek, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak menamainya. Yaitu satu diantara kepercayaan tradisional mistik yang dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit.

Seorang pria tua mengenakan kerudung sutra memegang seutas tali dari kulit kayu berbalut kain batik, yang teruntai menyentuh lantai kayu. Tubuhnya dalam posisi duduk bersila bergoyang mengikuti irama musik yang dihasilkan dari dua buah piring keramik berwarna putih, yang ditabuh dengan satu ranting kecil. Dan satu buah alat penebang pohon zaman dahulu “baliukng” (sejenis kapak) juga dijadikan sebagai alat musik untuk mengiringi ritual. 

Disampingnya duduk seorang ibu usia sekitar 70 tahun terlihat dalam kondisi lemah. Sudah hampir satu bulan dia mengalami sakit. Beberapa dokter sudah ditemui, namun sakitnya tak kunjung sembuh.

Hampir dua jam mulut dukun itu komat-kamit melafalkan mantera yang terdengar seperti nyanyian. Begitu juga dengan kedua tangannya yang tidak lepas memegang gagang tangkitn (sejenis parang/golok: senjata perang suku Dayak Kanayatn) yang terikat pada ayunan hingga menyentuh lantai. Tali yang digunakan untuk ayunan itu disebut tali danatn, disitu tergantung gerudung, sangkarok paratih (latok), tumpi, kerek poe (cocor, potongan lemang dalam bambu), tujuannya untuk memanggil roh, dan disinilah roh “simangat” orang yang sakit diambil dan dikembalikan pada raganya.

Bagi orang Dayak, percaya terhadap hal mistik adalah salahsatu bagian dari kehidupan, terutama sebagai upaya lain untuk mendapatkan kesembuhan. Jika usaha medis dianggap gagal, maka cara tradisional akan ditempuh bukan hanya sekedar alternatif, tapi karena mereka percaya bahwa penyakit yang menimpa seseorang ada penyebab lain, yang datangnya dari sesuatu yang tidak terlihat (roh halus). Percaya atau tidak, setelah dilakukan ritual pengobatan secara mistik, orang yang sakit biasanya menemukan kesembuhan.

Di bumi, apalagi disuatu tempat dengan hamparan hutan luas terdapat berbagai misteri didalamnya. Alam ini tidak hanya didiami oleh manusia saja, ada mahluk lain yang tidak bisa dilihat oleh manusia secara kasat mata. Nah, disaat membangun rumah, berladang dan lain sebagainya sebelumnya tanah itu sudah menjadi tempat tinggal roh halus. Tanpa melakukan upacara adat sebagai ungkapan permisi dan meminta hak mereka untuk diambil alih. Inilah terkadang menyebabkan orang sakit-sakitan, tidak damai seperti sering terjadinya keributan dalam rumah tangga. Dan inilah yang disebut "badi"  oleh orang Dayak.

Cara Mengetahui Penyakit
Malam semakin larut, sunyi dan dingin, cahaya remang hanya diterangi pelita, suasana mistik semakin terasa ketika dukun mulai mencari apa penyakit pasiennya, satu persatu anggota keluarga dikibas atau dalam istilah pengobatan itu disebut bajampi menggunakan daun rinyuakng dan kalimabo. Bagian belakang tubuh dan tangan diterawang dengan api lilin. Begitu juga dengan sebuah batu berwarna kuning berkilau ditempelkan beberapa detik pada bagian tubuh orang yang mengalami sakit, lalu diterawang pada api lilin. Batu itulah sebagai media untuk melihat dan menemukan apa penyakit yang ada pada diri seseorang.

Peraga Ritual Pengobatan
Dalam ilmu pegobatan tradisional, bakangkokng adalah tertua dari pengobatan tradisional suku Dayak Kanayatn. lama waktu untuk melakukan ritual pengobatan sekitar enam jam dan dilakukan pada malam hari, dimulai pada pukul 21:00 dan berakhir pukul 03:00. Berbeda dengan baliatn, dan balenggang yang menggunakan waktu satu malam penuh.

Peraga adat yang digunakan dalam ritual bakangkokng diantaranya adalah tujuh cangkir beras biasa, kemudian ditambah dengan jumlah keluarga yang menghuni rumah. Satu piring beras biasa yang disebut beras sunguh, dan satu piring beras lemang “poe”, telur, sebilah buah tengkawang, mata satali (uang logam/perak), sirih masak tujuh buah, rokok daun tujuh linting. bantal sirih (bantal karakek) berisi pinang, kapur, dan tembakau. Diletakan diatas pahar persis dihadapan sang dukun. 

Yang ada diatas pahar  inilah yang disebut roba tua. Artinya dalam ritual bakangkokng itu yang pertama disiapkan oleh tuan rumah. Sedangkan satu ekor ayam jantan digunakan untuk ritual pengobatan didalam rumah, atau dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut manok bakangkokng. Kemudian ada juga yang disebut roba bajalatn, digunakan untuk ritual diteras dan diluar rumah. Peraga lainnya ada sebuah kotak kecil terbuat dari bahan logam, didalamnya berisi sirih. Tempayan kecil disebut buat tangah, didalamnya sebilah parang/golok, daun kalimabo, dan daun rinyuakng

Untuk memulai ritual“baduduk” menggunakan satu ekor ayam. Diruang tamu “ka bilik” satu ekor. Begitu juga untuk ditempat tidur satu ekor. Satu ekor lagi untuk diteras rumah,  dipersimpangan rumah “ka saka” atau istilahnya disebut nyapat juga satu ekor. Dan satu ekor anak anjing juga sebagai syarat untuk pengobatan.