Ritual
Adat Agar Padi Tumbuh Subur
Oleh: Antonius Sutatian
Masyarakat Dayak
Kanayatn punya kepercayaan unik agar padi tumbuh subur. Mereka menyebutnya ngamalo atau yang biasa juga disebut nabo’ uma. Ritual ini dilaksanakan
ditengah sawah atau ladang, saat usia padi sekitar satu hingga dua bulan.
Tak perlu pupuk dan
lain sebagainya, cukup dengan melakukan ritual adat, beberapa masyarakat Dayak
yang ada di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak percaya padi yang mereka tanam
akan tumbuh subur, terhindar dari hama dan menghasilkan.
Sebagai Tanda
Ritual ini juga sebagai
tanda bahwa pemilik sawah atau ladang sudah menjaga dan merawat padi. Berdasarkan
cerita rakyat orang Dayak, barang siapa yang menjaga dan merawat padi dengan
melakukan ritual sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Jubata, maka ia
akan mendapatkan hasil panen yang melimpah.
“Zaman dahulu orang
Dayak berteman dengan Jubata, hantu dan setan. Mereka hidup berdampingan tidak
saling menggangu. Nah, makanan Jubata sehari-hari dari padi, berbeda dengan
manusia yang makan kulat karakng (sejenis
jamur) sebagai makanan pokok. Saat berteman dengan Jubata itulah manusia
melalui Baruakng Kulub mengambil tujuh butir padi palawakng pamurukng dilumbung milik Jubata,” ungkap Sipi
mengisahkan, yang dipercaya sebagai pelaksana adat (panyangahatn) saat itu.
Diceritakannya, setelah
mengetahui beberapa padinya dicuri, Jubata berpesan agar manusia menjaga dan
merawat padi itu dengan baik, memeliharanya hingga tumbuh dan bertambah banyak.
Melalui ritual ngamalo inilah bentuk
penyampaikan dan mengabarkan kepada Jubata bahwa pemilik sawah atau ladang telah
menjaga padi sesuai dengan apa yang diperintahkan.
“Semua aturan adat budaya
kami datangnya dari Jubata, bukan dibuat oleh manusia, sayangnya itu tidak
tertulis seperti kitab suci, sebab orang tua kami zaman dahulu tidak bisa
membaca dan menulis, untung saja kita bisa mengingatnya secara turun temurun
berdasarkan penuturan”, lanjutnya.
Dalam rentetan sejarah
adat bertani padi bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Sebelum tiga hari memulai
berladang ada ritual kecil menggunakan satu ekor ayam kurban, setelah itu saat
menebang pohon pun dilakukan hal yang sama. Ketika padi tumbuh berusia satu
sampai dua bulan ritual adat juga dilakukan, inilah yang disebut ngamalo. Berikutnya adat karapo atau istilah lainnya disebut ngampas buntikng padi (upacara adat
untuk mengusir hama, dilakukan saat padi memperlihatkan tanda akan berbuah), kemudian ada ritual pertama memanen, kapokokng (tahun baru padi), terakhir
adalah naek dango (ungkapan rasa syukur/pesta
besar).
“Kalau zaman nenek
moyang kita dahulu ada tujuh kali melakukan ritual adat yang saling berhubungan
dalam satu tahun. Lima kali dilakukan ditengah ladang atau sawah. Dan kalau
orang yang masih menganut kepercayaan lama biasanya ada tiga buah pabayo (tanda adat terbuat dari bambu) yang
berdiri disana sebagai tanda bahwa sudah dilakukan upacara adat. Lalu dua kali
digelar dirumah atau tempat lumbung padi,” kata pria berusia 72 tahun ini.
Untuk Menyucikan Tanah
Dan Melepas Niat
Kekayaan orang Dayak
zaman dahulu hanya padi, bukan uang, perabotan rumah atau lain sebagainya. Orang
yang berladang dan tidak mendapatkan hasil panen yang melimpah, orang itu akan
dikatan miskin. “Kalau zaman nenek moyang kami dahulu, hanya padi saja yang
mereka punya. Nah, jika bertani dan mendapatkan hasil melimpah, orang itulah dikatakan
kaya. Begitu juga sebaliknya, jika tidak mendapatkan padi dia akan dikatakan
miskin” lanjutnya.
Sesuai dengan aturan
adat, setelah ritual ngamalo selesai,
pemilik ladang atau sawah maupun orang lain tidak boleh mendatangi tempat itu
selama tiga hari. Masyarakat Dayak Kanayatn menyebutnya balala’ (ngalala’atn paramu paremah).