Rabu, 03 Desember 2014

Ritual Adat Agar Padi Tumbuh Subur



Ritual Adat Agar Padi Tumbuh Subur
Oleh: Antonius Sutatian

Masyarakat Dayak Kanayatn punya kepercayaan unik agar padi tumbuh subur. Mereka menyebutnya ngamalo atau yang biasa juga disebut nabo’ uma. Ritual ini dilaksanakan ditengah sawah atau ladang, saat usia padi sekitar satu hingga dua bulan. 

Gong “tawaq” ditabuh sebanyak tujuh kali petanda ritual dimulai. Doa berbahasa Kanayatn diucapkan oleh pelaksana adat yang didaulat sebagai imam. Sejumlah peraga adat nampak tersedia lengkap, tersusun rapi diatas kalangkakng yang terbuat dari bambu. Satu ekor babi dan dua ekor ayam yang akan dijadikan hewan kurban juga nampak siap untuk dipersembahkan. 


Tak perlu pupuk dan lain sebagainya, cukup dengan melakukan ritual adat, beberapa masyarakat Dayak yang ada di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak percaya padi yang mereka tanam akan tumbuh subur, terhindar dari hama dan menghasilkan. 

Sebagai Tanda
Ritual ini juga sebagai tanda bahwa pemilik sawah atau ladang sudah menjaga dan merawat padi. Berdasarkan cerita rakyat orang Dayak, barang siapa yang menjaga dan merawat padi dengan melakukan ritual sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Jubata, maka ia akan mendapatkan hasil panen yang melimpah.
“Zaman dahulu orang Dayak berteman dengan Jubata, hantu dan setan. Mereka hidup berdampingan tidak saling menggangu. Nah, makanan Jubata sehari-hari dari padi, berbeda dengan manusia yang makan kulat karakng (sejenis jamur) sebagai makanan pokok. Saat berteman dengan Jubata itulah manusia melalui Baruakng Kulub mengambil tujuh butir padi palawakng pamurukng dilumbung milik Jubata,” ungkap Sipi mengisahkan, yang dipercaya sebagai pelaksana adat (panyangahatn) saat itu.

Diceritakannya, setelah mengetahui beberapa padinya dicuri, Jubata berpesan agar manusia menjaga dan merawat padi itu dengan baik, memeliharanya hingga tumbuh dan bertambah banyak. Melalui ritual ngamalo inilah bentuk penyampaikan dan mengabarkan kepada Jubata bahwa pemilik sawah atau ladang telah menjaga padi sesuai dengan apa yang diperintahkan.

“Semua aturan adat budaya kami datangnya dari Jubata, bukan dibuat oleh manusia, sayangnya itu tidak tertulis seperti kitab suci, sebab orang tua kami zaman dahulu tidak bisa membaca dan menulis, untung saja kita bisa mengingatnya secara turun temurun berdasarkan penuturan”, lanjutnya.

Dalam rentetan sejarah adat bertani padi bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Sebelum tiga hari memulai berladang ada ritual kecil menggunakan satu ekor ayam kurban, setelah itu saat menebang pohon pun dilakukan hal yang sama. Ketika padi tumbuh berusia satu sampai dua bulan ritual adat juga dilakukan, inilah yang disebut ngamalo. Berikutnya adat karapo atau istilah lainnya disebut ngampas buntikng padi (upacara adat untuk mengusir hama, dilakukan saat padi memperlihatkan tanda akan berbuah), kemudian ada ritual pertama memanen, kapokokng (tahun baru padi), terakhir adalah naek dango (ungkapan rasa syukur/pesta besar).   

“Kalau zaman nenek moyang kita dahulu ada tujuh kali melakukan ritual adat yang saling berhubungan dalam satu tahun. Lima kali dilakukan ditengah ladang atau sawah. Dan kalau orang yang masih menganut kepercayaan lama biasanya ada tiga buah pabayo (tanda adat terbuat dari bambu) yang berdiri disana sebagai tanda bahwa sudah dilakukan upacara adat. Lalu dua kali digelar dirumah atau tempat lumbung padi,” kata pria berusia 72 tahun ini.

Untuk Menyucikan Tanah Dan Melepas Niat
Ngamalo juga bertujuan untuk menyucikan tanah, agar mahluk halus yang berdiam ditempat itu tidak menjadi pengganggu tanaman yang menyebabkan gagal panen. “Sudah lama tanah ini tidak di adat “ditabo” atau disucikan. Dengan ritual ini ya kita berharap padi tumbuh dan berbuah bagus, apalagi kita pernah berniat ingin berkurban satu ekor babi jika bercocok tanam disawah ini,” ungkap Kamis, pemilik sawah. 

Pria yang hingga kini masih memegang teguh adat istiadat ini juga mengatakan, dalam adat masyarakat Dayak berhutang kata lebih besar dampaknya ketimbang berhutang barang atau uang. Kalau sudah disebut harus dilakukan, dalam bahasa Kanayatn adalah ngalapas molot, yang artinya melepas niat yang sudah terucap oleh seseorang. Jika tidak kesampaian, itu tidak hanya bisa menjadi petaka bagi orang yang sudah menyebutkan niatnya, namun juga akan berpengaruh pada hasil pertanian.

Kekayaan orang Dayak zaman dahulu hanya padi, bukan uang, perabotan rumah atau lain sebagainya. Orang yang berladang dan tidak mendapatkan hasil panen yang melimpah, orang itu akan dikatan miskin. “Kalau zaman nenek moyang kami dahulu, hanya padi saja yang mereka punya. Nah, jika bertani dan mendapatkan hasil melimpah, orang itulah dikatakan kaya. Begitu juga sebaliknya, jika tidak mendapatkan padi dia akan dikatakan miskin” lanjutnya. 

Sesuai dengan aturan adat, setelah ritual ngamalo selesai, pemilik ladang atau sawah maupun orang lain tidak boleh mendatangi tempat itu selama tiga hari. Masyarakat Dayak Kanayatn menyebutnya balala’ (ngalala’atn paramu paremah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar