Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
SINAR mentari
pagi menerobos sela pepohonan, menerpa
sebuah perkampungan sederhana yang berada dilereng bukit. Udara
terasa dingin, tanah dan rumput
masih basah lantaran hujan baru saja selesai mengguyur. Jalanan becek, dan
licin membuat aku mesti ekstra hati-hati dalam melangkah.
.JPG) |
Warga tidak dibolehkan berjalan mendahului pelaksana adat |
Sunyi, seperti tidak berpenghuni, hanya kicauan burung kecil yang terdengar riuh diatas dahan pohon. Pintu-pintu
rumah masih tertutup rapat, tidak ada manusia yang lalu-lalang, hanya nampak gerombolan
babi peliharaan sedang sibuk mencari makan disekitar rumah.
“Ayo masuk,” sapa seorang warga
bernama Pakong dengan ramah seraya tersenyum, memecah kebingunganku, ketika aku berada
dihalaman rumahnya. Ia pemuda berusia 35 tahun, badannya tambun, dikenal sebagai ahli
dalam pengobatan secara mistik, atau tradisional yang biasa disebut dukun.
Tanpa basa-basi, kuayun kaki-ku, melangkah menuju pintu yang terbuka
lebar, dan masuk sambil memberi salam. Tidak menunggu waktu lama, secangkir kopi
panas dan makanan khas Dayak dihidangkan untuk menyambut kedatangan-ku bersama
seorang teman.
Dibalik
hening kampung itu, ada kesibukan di dalam rumah masing-masing, mempersiapkan
keperluan mengikuti upacara ritual. Upacara Naek Dangeng, begitu warga setempat
menyebutnya, yaitu ritual pemanggilan roh padi, yang dilakukan satu kali dalam
setahun, setiap bulan Pebuari. Ritual ini digelar saat panen padi masih berlangsung, tujuannya
agar roh padi tidak sasat ka’ maraga, ka’
saka, ka’ binua lain, nang anyut ka’ ai’, jantu ka’ lubakng nang ka’ tingalatn ka’ tangah uma. (sesat
dijalan, dipersimpangan, didaerah lain, hanyut ke sungai, jatuh kelobang, dan
yang ketinggalan ditengah ladang).
Kampung Banta’,
itulah nama tempat itu. Berada diwilayah pedalaman Kecamatan Menyuke, Kabupaten
Landak, dengan jarak tempuh sekitar 20 menit menggunakan sepeda motor dari kota
Kecamatan Menyuke. Berpenghuni sekitar 56 kepala keluarga. Kehidupan
sehari-hari warga setempat bertani dan menderes karet pada pagi hari. Tak ada
bangunan sekolah, jika ingin mengenyam
pendidikan, anak-anak mesti ke kota Kecamatan.
Persiapkan roba palantar
Jam telah
menunjukan pukul 9 pagi. Beberapa orang mulai
keluar dari rumah. Ada yang membawa
ayam, tikar, tempat masak dan perlengkapan lainnya. Kami pun beranjak mengikuti warga menuju tempat pelaksanaan ritual yang memakan waktu sekitar 45 menit berjalan kaki. Lokasinya berada
diatas bukit.
Sambil duduk disela-sela
semak dibawah besar dan rimbun pepohonan, kuatur napas agar normal kembali, begitu juga dengan warga. Setelah beristirahat
sejenak, sekitar seratus orang terdiri dari dewasa dan anak-anak mulai
menyiapkan perlengkapan sarana ritual yang mereka bawa. Telur mentah, beras lemang, beras sunguh (beras
biasa), tengkawang, sirih masak (terdiri dari: rokok daun, pinang, tembakau,
kapur dan daun sirih). Tepung tawar (beras yang dicampur
kunyit), beras banyu (beras yang
dicampur minyak sebanyak tujuh butir yang merupakan simbol
roh tujuh bersaudara, bernama Nek
Baruakng Kulup, Nek
Palang Palih, Nek
Dara Itam, Nek
Jaek, Nek Jamani,
Nek Setiawan,
Nek Kasimak),
serta satu uang logam sebagai penyemangat “pangkaras”.
Beras lemang dan
beras biasa masing-masing satu piring, lalu
ditumpuk, “beras lemang berada diatas beserta
dengan peralatan lainnya. Perangkat ritual ini disebut
roba palantar,” ungkap Pakong, yang
bertugas sebagai imam atau pembaca mantera, yang dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut panyangahatn. “Alat
peraga ritual harus lengkap, tidak boleh ada yang kurang.
Sebelum ritual dimulai, terlebih dahulu kami melihat untuk memastikan, karena
ini upacara sakral,” tambah dia.
Gong pun
dibunyikan sebanyak tujuh kali. Tanda memanggil tujuh roh padi bersaudara, agar tidak layo, sasat, tidur (tidak pergi
dari tempatnya, tersesat, dan tertidur). Tiga
orang yang bertugas sebagai imam mulai komat-kamit membacakan mantera yang sama
secara serentak, sambil menghadap sarana ritual yang diletakan diatas altar
kayu. Nama-nama roh padi itu-pun disebut. Puluhan ekor ayam
dan satu ekor babi di ikat pada tiang altar. Proses ritual ini disebut ngantar manta’, yang artinya hewan
kurban seperti ayam dan babi masih dalam keadaan hidup.
Kemudian proses
ritual selanjutnya adalah ngantar masak, dimana
hewan kurban sudah disembelih, matang dengan
dipanggang diatas bara api. Tubuh dan
organ dalam seperti hati, empala dan jantung masih utuh. “Tidak boleh ada yang
kurang sedikitpun, organ tubuh hewan kurban harus lengkap. Jika
ada yang kurang panyangahatn
tidak akan mau menerima sesaji itu, karena bisa menyebabkan
petaka “madi”
baik pada orang yang membacakan mantera maupun orang yang menyediakan peraga
ritual tersebut,” ungkap Kornelius Beke’, salah satu panyangahatn.
.JPG) |
Ngantar masak |
Ada istilah
lain dari prosesi ngantar masak, yaitu ba bagi, ba ongko’, basa mareatn makatn nang atakng. Yang artinya
memberi makan roh nenek moyang sebagai bentuk
penghargaan kepada roh yang telah dipanggil dan hadir ditempat
ritual.
.JPG) |
Hewan kurban dibakar, dipersembahkan pada roh leluhur |
Makan bersama
Waktu
sudah menunjukan pukul 13:10 menit. Rasa lapar mulai terasa, untung saja tak
lama kemudian ritual
selesai. Tibalah saat yang dinanti, yaitu acara
makan bersama. Ayam dan babi yang dijadikan hewan kurban
menjadi menu utama, meski tidak semua dihidangkan, karena satu paha
kanan ayam harus diberikan pada panyangahatn,
dan itu wajib, adat yang tidak boleh diubah. Begitu juga dengan babi,
yang boleh dimakan secara bersama adalah sisa yang tidak dibagikan kepada panyangah dan tua tautn.
“Tidak ada yang berubah dalam pelaksanaan ritual ini, semuanya sesuai dengan tata cara yang
diwariskan oleh nenek moyang kami. Sarana-sarana
ritualnya
sama, dan lengkap karena itu sebagai syarat atau sarana untuk menghubungkan manusia dengan sang pencipta, dan roh nenek moyang kami. Begitu
juga ketika ritual sudah selesai, kita harus makan bersama sebagai wujud
kebersamaan dan syukur,” jelas Ladin, tua tautn (kepala tahun) kampung Banta’.
Tujuan Naek Dangeng tidak hanya memanggil roh padi, namun juga memohon pada Jubata
(Tuhan) agar kampung aman, damai dan
tenteram, terhindar dari
segala penyakit. Menurut tua tautn, ritual ini juga
termasuk upacara tolak bala. “Jika kita sudah selesai melakukan ritual, kita
akan merasa lebih nyaman dan tenang. Dan harapan kita juga,
agar kegiatan bertani lancar dengan hasil panen padi yang memuaskan,” katanya.
Dalam ritual itu, tentu ada pantangan. Orang yang diperbolehkan
mengikuti ritual adalah orang
yang bersih. Bersih dalam arti tidak ada anggota keluarga yang meninggal tujuh
hari sebelum acara ritual dilangsungkan. Dan pantangan itu berlaku selama tiga
tahun. Begitu juga dengan wanita yang lagi menstuarsi, dia
tidak dibolehkan mengikuti ritual saat itu.
Ritual bapadah
Satu hari
sebelum ritual, ada upacara khusus yang istilah Dayak setempat
disebut baremah atau bapadah yang artinya memberitau kepada
roh yang mendiami tempat itu, bahwa esoknya akan ada upacara ritual besar ditempat
tersebut. Pada saat ritual bapadah,
yang menyediakan sarana upacara adalah tua
tautn.
Tua tautn adalah orang yang dipercaya
warga dan dipilih dengan cara musyawarah dengan pertimbangan, bahwa
orang tersebut cakap, mengerti adat-istiadat dan dapat membawa rasi yang baik bagi kampung, khususnya
hasil panen padi yang melimpah.
Dalam ritual itu
tidak banyak melibatkan warga. Hanya beberapa orang saja, terdiri dari tua tautn, satu orang panyangahatn, dan satu orang pembantu.
Sarana ritual juga tidak banyak, hanya dengan menyediakan roba palantar dan satu ekor ayam kampung.