Rabu, 03 Desember 2014

Ritual Adat Agar Padi Tumbuh Subur



Ritual Adat Agar Padi Tumbuh Subur
Oleh: Antonius Sutatian

Masyarakat Dayak Kanayatn punya kepercayaan unik agar padi tumbuh subur. Mereka menyebutnya ngamalo atau yang biasa juga disebut nabo’ uma. Ritual ini dilaksanakan ditengah sawah atau ladang, saat usia padi sekitar satu hingga dua bulan. 

Gong “tawaq” ditabuh sebanyak tujuh kali petanda ritual dimulai. Doa berbahasa Kanayatn diucapkan oleh pelaksana adat yang didaulat sebagai imam. Sejumlah peraga adat nampak tersedia lengkap, tersusun rapi diatas kalangkakng yang terbuat dari bambu. Satu ekor babi dan dua ekor ayam yang akan dijadikan hewan kurban juga nampak siap untuk dipersembahkan. 


Tak perlu pupuk dan lain sebagainya, cukup dengan melakukan ritual adat, beberapa masyarakat Dayak yang ada di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak percaya padi yang mereka tanam akan tumbuh subur, terhindar dari hama dan menghasilkan. 

Sebagai Tanda
Ritual ini juga sebagai tanda bahwa pemilik sawah atau ladang sudah menjaga dan merawat padi. Berdasarkan cerita rakyat orang Dayak, barang siapa yang menjaga dan merawat padi dengan melakukan ritual sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Jubata, maka ia akan mendapatkan hasil panen yang melimpah.
“Zaman dahulu orang Dayak berteman dengan Jubata, hantu dan setan. Mereka hidup berdampingan tidak saling menggangu. Nah, makanan Jubata sehari-hari dari padi, berbeda dengan manusia yang makan kulat karakng (sejenis jamur) sebagai makanan pokok. Saat berteman dengan Jubata itulah manusia melalui Baruakng Kulub mengambil tujuh butir padi palawakng pamurukng dilumbung milik Jubata,” ungkap Sipi mengisahkan, yang dipercaya sebagai pelaksana adat (panyangahatn) saat itu.

Diceritakannya, setelah mengetahui beberapa padinya dicuri, Jubata berpesan agar manusia menjaga dan merawat padi itu dengan baik, memeliharanya hingga tumbuh dan bertambah banyak. Melalui ritual ngamalo inilah bentuk penyampaikan dan mengabarkan kepada Jubata bahwa pemilik sawah atau ladang telah menjaga padi sesuai dengan apa yang diperintahkan.

“Semua aturan adat budaya kami datangnya dari Jubata, bukan dibuat oleh manusia, sayangnya itu tidak tertulis seperti kitab suci, sebab orang tua kami zaman dahulu tidak bisa membaca dan menulis, untung saja kita bisa mengingatnya secara turun temurun berdasarkan penuturan”, lanjutnya.

Dalam rentetan sejarah adat bertani padi bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Sebelum tiga hari memulai berladang ada ritual kecil menggunakan satu ekor ayam kurban, setelah itu saat menebang pohon pun dilakukan hal yang sama. Ketika padi tumbuh berusia satu sampai dua bulan ritual adat juga dilakukan, inilah yang disebut ngamalo. Berikutnya adat karapo atau istilah lainnya disebut ngampas buntikng padi (upacara adat untuk mengusir hama, dilakukan saat padi memperlihatkan tanda akan berbuah), kemudian ada ritual pertama memanen, kapokokng (tahun baru padi), terakhir adalah naek dango (ungkapan rasa syukur/pesta besar).   

“Kalau zaman nenek moyang kita dahulu ada tujuh kali melakukan ritual adat yang saling berhubungan dalam satu tahun. Lima kali dilakukan ditengah ladang atau sawah. Dan kalau orang yang masih menganut kepercayaan lama biasanya ada tiga buah pabayo (tanda adat terbuat dari bambu) yang berdiri disana sebagai tanda bahwa sudah dilakukan upacara adat. Lalu dua kali digelar dirumah atau tempat lumbung padi,” kata pria berusia 72 tahun ini.

Untuk Menyucikan Tanah Dan Melepas Niat
Ngamalo juga bertujuan untuk menyucikan tanah, agar mahluk halus yang berdiam ditempat itu tidak menjadi pengganggu tanaman yang menyebabkan gagal panen. “Sudah lama tanah ini tidak di adat “ditabo” atau disucikan. Dengan ritual ini ya kita berharap padi tumbuh dan berbuah bagus, apalagi kita pernah berniat ingin berkurban satu ekor babi jika bercocok tanam disawah ini,” ungkap Kamis, pemilik sawah. 

Pria yang hingga kini masih memegang teguh adat istiadat ini juga mengatakan, dalam adat masyarakat Dayak berhutang kata lebih besar dampaknya ketimbang berhutang barang atau uang. Kalau sudah disebut harus dilakukan, dalam bahasa Kanayatn adalah ngalapas molot, yang artinya melepas niat yang sudah terucap oleh seseorang. Jika tidak kesampaian, itu tidak hanya bisa menjadi petaka bagi orang yang sudah menyebutkan niatnya, namun juga akan berpengaruh pada hasil pertanian.

Kekayaan orang Dayak zaman dahulu hanya padi, bukan uang, perabotan rumah atau lain sebagainya. Orang yang berladang dan tidak mendapatkan hasil panen yang melimpah, orang itu akan dikatan miskin. “Kalau zaman nenek moyang kami dahulu, hanya padi saja yang mereka punya. Nah, jika bertani dan mendapatkan hasil melimpah, orang itulah dikatakan kaya. Begitu juga sebaliknya, jika tidak mendapatkan padi dia akan dikatakan miskin” lanjutnya. 

Sesuai dengan aturan adat, setelah ritual ngamalo selesai, pemilik ladang atau sawah maupun orang lain tidak boleh mendatangi tempat itu selama tiga hari. Masyarakat Dayak Kanayatn menyebutnya balala’ (ngalala’atn paramu paremah).

Jumat, 28 November 2014

Nyeser, Ritual Mengusir Hantu



Nyeser, Ritual Mengusir Hantu
Oleh: Antonius Sutatian

Umumnya dimasa kini orang lebih realistis, dan berpikir lurus terhadap suatu tindakan yang berada diluar nalar, terutama mereka yang tinggal diperkotaan. Namun cara berpikir seperti itu kebanyakan berbanding terbalik dengan masyarakat yang tinggal diperkampungan, Dayak Taba yang ada di Batang Tarang, Kabupaten Sanggau misalnya, mereka tetap berpeggang teguh pada nilai-nilai adat-istiadat, budaya tradisi yang diyakini dapat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, dan roh.

Meski acapkali dikatakan primitif, irasional oleh orang yang berpikir rasional atau mereka yang menganut faham moderen, masyarakat Taba tetap saja mempertahankan ideology budaya tradisi warisan leluhur mereka, satu diantaranya adalah timang-timang sabayot atau juga sering disebut upacara nyeser, yaitu sebuah ritual untuk mengusir roh jahat atau hantu, karena mereka percaya untuk melawan kekuatan roh jahat harus dengan cara-cara mistik.

Budaya tradisi unik ini dilangsungkan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang masyarakat Taba, dan mampu bertahan ditengah kehidupan budaya moderen. Tata cara pelaksanaannya pun amat kental, membuat kehidupan sosial budaya mereka nampak berbeda dengan masyarakat lain yang tinggal disekitar.

Ritual nyeser amat erat kaitannya dengan kehidupan kearifan lokal. Upacara ritual ini juga dilakukan tidak sekedar bertujuan untuk mengusir roh jahat atau hantu yang merusak tanaman, namun juga hewan peliharan, bahkan manusia. Dapat dikatakan bahwa ritual ini termasuk tolak bala.

Upacara nyeser biasanya dilakukan sebelum menuai padi diladang atau sawah, saat padi mulai menguning, dalam bahasa Taba “mata’k pade angot”. Digelar sekitar bulan Pebuari dan Maret.

Awal Mula Upacara Nyeser
Dahulu mata pencaharian masyarakat Taba hanya berladang dan menoreh (menderes) getah (pohon karet). Setiap tahunnya selalu saja ada gadis atau pemuda yang ditimpa musibah hingga menyebabkan kematian. Begitu juga dengan panen yang selalu gagal, dan hewan ternak seringkali mati mendadak.  

Masyarakat kemudian melakukan perundingan yang disebut ngondong, dihadiri pemangku adat dan panglima untuk mencari tahu apa penyebabnya. Diketahuilah ternyata disebabkan oleh tujuh amot (hantu). Masyarakat pun sepakat mengusir hantu itu dengan melakukan upacara yang disebut nyeser atau emburu amot (memburu hantu).

Nama-nama tujuh hantu itu adalah amot samper; yaitu hantu yang mengganggu kesehatan penduduk,  amot buah; hantu mengganggu buah ditembawang penduduk, amot rangka; hantu menggangu ternak penduduk, amot bujang peranso; hantu mengganggu ketentraman hati manusia, amot bu; hantu mengganggu ternak ayam, amot buer; hantu mengganggu makanan, amot reok; hantu rakus.

Tata Cara dan Peraga Ritual
Sebelum upacara dimulai. Disetiap penjuru jalan dipasang ancak (sesaji) untuk meminta keselamatan dari yang maha kuasa. Roh-roh jahat, diwujudkan dalam bentuk topeng yang terbuat dari kayu ringan, diperagakan oleh manusia dengan tarian spontan alakadarnya namun dinamis, selaras mengikuti alunan musik yang amat khas, menggunakan peralatan musik tradisional, diantaranya kenong, gendang, gong disertai paca pamang pelaksana adat, dan tarian empat orang wanita paruh baya.
 
Meski terkesan sederhana, namun gerakannya terlihat tegas menggambarkan atau mengekspresikan sosok mahluk yang mereka perankan, yang dilakoni oleh tujuh orang pemuda dengan tubuh berbalut ijuk mayang (enau) dari ujung tangan hingga kaki yang di ikat dengan rotan.

Pada upacara ini disiapkan lanting seperti rumah kecil yang terbuat dari pelepah sagu. Didalamnya berisikan sajian, diantaranya baras salamat, nasi ketupat, sabang sungkai (dalamnya berisi nasi), dua buah pancong paleh (dalamnya berisi tuak dan air), tumpi (cocor), purut (lemang), baras emping, padi baru dan semua hasil panen seperti mentimun, jagung, peranggi, labu, serta satu ekor anak ayam.

Setelah upacara selesai, pelaksana adat dibantu warga membawa lanting ke sungai untuk dihanyutkan. Mereka percaya para hantu ikut hanyut bersama lanting mengikuti arus sungai.


Bakangkokng, Ritual Penyembuhan Orang Sakit
Oleh: Antonius Sutatian

Bakangkokng, begitulah orang Dayak Kanayatn yang ada di Dusun Jabeng, Desa Mamek, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak menamainya. Yaitu satu diantara kepercayaan tradisional mistik yang dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit.

Seorang pria tua mengenakan kerudung sutra memegang seutas tali dari kulit kayu berbalut kain batik, yang teruntai menyentuh lantai kayu. Tubuhnya dalam posisi duduk bersila bergoyang mengikuti irama musik yang dihasilkan dari dua buah piring keramik berwarna putih, yang ditabuh dengan satu ranting kecil. Dan satu buah alat penebang pohon zaman dahulu “baliukng” (sejenis kapak) juga dijadikan sebagai alat musik untuk mengiringi ritual. 

Disampingnya duduk seorang ibu usia sekitar 70 tahun terlihat dalam kondisi lemah. Sudah hampir satu bulan dia mengalami sakit. Beberapa dokter sudah ditemui, namun sakitnya tak kunjung sembuh.

Hampir dua jam mulut dukun itu komat-kamit melafalkan mantera yang terdengar seperti nyanyian. Begitu juga dengan kedua tangannya yang tidak lepas memegang gagang tangkitn (sejenis parang/golok: senjata perang suku Dayak Kanayatn) yang terikat pada ayunan hingga menyentuh lantai. Tali yang digunakan untuk ayunan itu disebut tali danatn, disitu tergantung gerudung, sangkarok paratih (latok), tumpi, kerek poe (cocor, potongan lemang dalam bambu), tujuannya untuk memanggil roh, dan disinilah roh “simangat” orang yang sakit diambil dan dikembalikan pada raganya.

Bagi orang Dayak, percaya terhadap hal mistik adalah salahsatu bagian dari kehidupan, terutama sebagai upaya lain untuk mendapatkan kesembuhan. Jika usaha medis dianggap gagal, maka cara tradisional akan ditempuh bukan hanya sekedar alternatif, tapi karena mereka percaya bahwa penyakit yang menimpa seseorang ada penyebab lain, yang datangnya dari sesuatu yang tidak terlihat (roh halus). Percaya atau tidak, setelah dilakukan ritual pengobatan secara mistik, orang yang sakit biasanya menemukan kesembuhan.

Di bumi, apalagi disuatu tempat dengan hamparan hutan luas terdapat berbagai misteri didalamnya. Alam ini tidak hanya didiami oleh manusia saja, ada mahluk lain yang tidak bisa dilihat oleh manusia secara kasat mata. Nah, disaat membangun rumah, berladang dan lain sebagainya sebelumnya tanah itu sudah menjadi tempat tinggal roh halus. Tanpa melakukan upacara adat sebagai ungkapan permisi dan meminta hak mereka untuk diambil alih. Inilah terkadang menyebabkan orang sakit-sakitan, tidak damai seperti sering terjadinya keributan dalam rumah tangga. Dan inilah yang disebut "badi"  oleh orang Dayak.

Cara Mengetahui Penyakit
Malam semakin larut, sunyi dan dingin, cahaya remang hanya diterangi pelita, suasana mistik semakin terasa ketika dukun mulai mencari apa penyakit pasiennya, satu persatu anggota keluarga dikibas atau dalam istilah pengobatan itu disebut bajampi menggunakan daun rinyuakng dan kalimabo. Bagian belakang tubuh dan tangan diterawang dengan api lilin. Begitu juga dengan sebuah batu berwarna kuning berkilau ditempelkan beberapa detik pada bagian tubuh orang yang mengalami sakit, lalu diterawang pada api lilin. Batu itulah sebagai media untuk melihat dan menemukan apa penyakit yang ada pada diri seseorang.

Peraga Ritual Pengobatan
Dalam ilmu pegobatan tradisional, bakangkokng adalah tertua dari pengobatan tradisional suku Dayak Kanayatn. lama waktu untuk melakukan ritual pengobatan sekitar enam jam dan dilakukan pada malam hari, dimulai pada pukul 21:00 dan berakhir pukul 03:00. Berbeda dengan baliatn, dan balenggang yang menggunakan waktu satu malam penuh.

Peraga adat yang digunakan dalam ritual bakangkokng diantaranya adalah tujuh cangkir beras biasa, kemudian ditambah dengan jumlah keluarga yang menghuni rumah. Satu piring beras biasa yang disebut beras sunguh, dan satu piring beras lemang “poe”, telur, sebilah buah tengkawang, mata satali (uang logam/perak), sirih masak tujuh buah, rokok daun tujuh linting. bantal sirih (bantal karakek) berisi pinang, kapur, dan tembakau. Diletakan diatas pahar persis dihadapan sang dukun. 

Yang ada diatas pahar  inilah yang disebut roba tua. Artinya dalam ritual bakangkokng itu yang pertama disiapkan oleh tuan rumah. Sedangkan satu ekor ayam jantan digunakan untuk ritual pengobatan didalam rumah, atau dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut manok bakangkokng. Kemudian ada juga yang disebut roba bajalatn, digunakan untuk ritual diteras dan diluar rumah. Peraga lainnya ada sebuah kotak kecil terbuat dari bahan logam, didalamnya berisi sirih. Tempayan kecil disebut buat tangah, didalamnya sebilah parang/golok, daun kalimabo, dan daun rinyuakng

Untuk memulai ritual“baduduk” menggunakan satu ekor ayam. Diruang tamu “ka bilik” satu ekor. Begitu juga untuk ditempat tidur satu ekor. Satu ekor lagi untuk diteras rumah,  dipersimpangan rumah “ka saka” atau istilahnya disebut nyapat juga satu ekor. Dan satu ekor anak anjing juga sebagai syarat untuk pengobatan.

Sabtu, 03 Mei 2014

Ritual Memanggil Roh Padi



Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
SINAR mentari pagi menerobos sela pepohonan, menerpa sebuah perkampungan sederhana yang berada dilereng bukit. Udara terasa dingin, tanah dan rumput masih basah lantaran hujan baru saja selesai mengguyur. Jalanan becek, dan licin membuat aku mesti ekstra hati-hati dalam melangkah.
Warga tidak dibolehkan berjalan mendahului pelaksana adat
Sunyi, seperti tidak berpenghuni, hanya kicauan burung kecil yang terdengar riuh diatas dahan pohon. Pintu-pintu rumah masih tertutup rapat, tidak ada manusia yang lalu-lalang, hanya nampak gerombolan babi peliharaan sedang sibuk mencari makan disekitar rumah.

“Ayo masuk,” sapa seorang warga bernama Pakong dengan ramah seraya tersenyum, memecah kebingunganku, ketika aku berada dihalaman rumahnya. Ia pemuda berusia 35 tahun, badannya tambun, dikenal sebagai ahli dalam pengobatan secara mistik, atau tradisional yang biasa disebut dukun. Tanpa basa-basi, kuayun kaki-ku, melangkah menuju pintu yang terbuka lebar, dan masuk sambil memberi salam. Tidak menunggu waktu lama, secangkir kopi panas dan makanan khas Dayak dihidangkan untuk menyambut kedatangan-ku bersama seorang teman.

Dibalik hening kampung itu, ada kesibukan di dalam rumah masing-masing, mempersiapkan keperluan mengikuti upacara ritual. Upacara Naek Dangeng, begitu warga setempat menyebutnya, yaitu ritual pemanggilan roh padi, yang dilakukan satu kali dalam setahun, setiap bulan Pebuari. Ritual ini digelar saat panen padi masih berlangsung, tujuannya agar roh padi tidak sasat ka’ maraga, ka’ saka, ka’ binua lain, nang anyut ka’ ai’, jantu ka’ lubakng nang katingalatn ka’ tangah uma. (sesat dijalan, dipersimpangan, didaerah lain, hanyut ke sungai, jatuh kelobang, dan yang ketinggalan ditengah ladang).

Kampung Banta’, itulah nama tempat itu. Berada diwilayah pedalaman Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, dengan jarak tempuh sekitar 20 menit menggunakan sepeda motor dari kota Kecamatan Menyuke. Berpenghuni sekitar 56 kepala keluarga. Kehidupan sehari-hari warga setempat bertani dan menderes karet pada pagi hari. Tak ada bangunan sekolah,  jika ingin mengenyam pendidikan, anak-anak mesti ke kota Kecamatan.

Persiapkan roba palantar
Jam telah menunjukan pukul 9 pagi. Beberapa orang mulai keluar dari rumah. Ada yang membawa ayam, tikar, tempat masak dan perlengkapan lainnya. Kami pun beranjak mengikuti warga menuju tempat pelaksanaan ritual yang memakan waktu sekitar 45 menit berjalan kaki. Lokasinya berada diatas bukit.

Sambil duduk disela-sela semak dibawah besar dan rimbun pepohonan, kuatur napas agar normal kembali, begitu juga dengan warga. Setelah beristirahat sejenak, sekitar seratus orang terdiri dari dewasa dan anak-anak mulai menyiapkan perlengkapan sarana ritual yang mereka bawa. Telur mentah, beras lemang, beras sunguh (beras biasa), tengkawang, sirih masak (terdiri dari: rokok daun, pinang, tembakau, kapur dan daun sirih). Tepung tawar (beras yang dicampur kunyit), beras banyu (beras yang dicampur minyak sebanyak tujuh butir yang merupakan simbol roh tujuh bersaudara, bernama Nek Baruakng Kulup, Nek Palang Palih, Nek Dara Itam, Nek Jaek, Nek Jamani, Nek Setiawan, Nek Kasimak), serta satu uang logam sebagai penyemangat “pangkaras”.

Beras lemang dan beras biasa masing-masing satu piring, lalu ditumpuk, beras lemang berada diatas beserta dengan peralatan lainnya. Perangkat ritual ini disebut roba palantar,” ungkap Pakong, yang bertugas sebagai imam atau pembaca mantera, yang dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut panyangahatn.Alat peraga ritual harus lengkap, tidak boleh ada yang kurang. Sebelum ritual dimulai, terlebih dahulu kami melihat untuk memastikan, karena ini upacara sakral,” tambah dia.

Gong pun dibunyikan sebanyak tujuh kali. Tanda memanggil tujuh roh padi bersaudara, agar tidak layo, sasat, tidur (tidak pergi dari tempatnya, tersesat, dan tertidur). Tiga orang yang bertugas sebagai imam mulai komat-kamit membacakan mantera yang sama secara serentak, sambil menghadap sarana ritual yang diletakan diatas altar kayu. Nama-nama roh padi itu-pun disebut. Puluhan ekor ayam dan satu ekor babi di ikat pada tiang altar. Proses ritual ini disebut ngantar manta’, yang artinya hewan kurban seperti ayam dan babi masih dalam keadaan hidup.


Kemudian proses ritual selanjutnya adalah ngantar masak, dimana hewan kurban sudah disembelih, matang dengan dipanggang diatas bara api. Tubuh dan organ dalam seperti hati, empala dan jantung masih utuh. “Tidak boleh ada yang kurang sedikitpun, organ tubuh hewan kurban harus lengkap. Jika ada yang kurang panyangahatn tidak akan mau menerima sesaji itu, karena bisa menyebabkan petaka “madi” baik pada orang yang membacakan mantera maupun orang yang menyediakan peraga ritual tersebut,” ungkap Kornelius Beke’, salah satu panyangahatn.
Ngantar masak
Ada istilah lain dari prosesi ngantar masak, yaitu ba bagi, ba ongko’, basa mareatn makatn nang atakng. Yang artinya memberi makan roh nenek moyang sebagai bentuk penghargaan kepada roh yang telah dipanggil dan hadir ditempat ritual.
Hewan kurban dibakar, dipersembahkan pada roh leluhur

Makan bersama
Waktu sudah menunjukan pukul 13:10 menit. Rasa lapar mulai terasa, untung saja tak lama kemudian ritual selesai. Tibalah saat yang dinanti, yaitu acara makan bersama. Ayam dan babi yang dijadikan hewan kurban menjadi menu utama, meski tidak semua dihidangkan, karena satu paha kanan ayam harus diberikan pada panyangahatn, dan itu wajib, adat yang tidak boleh diubah. Begitu juga dengan babi, yang boleh dimakan secara bersama adalah sisa yang tidak dibagikan kepada panyangah dan tua tautn.


Tidak ada yang berubah dalam pelaksanaan ritual ini, semuanya sesuai dengan tata cara yang diwariskan oleh nenek moyang kami. Sarana-sarana ritualnya sama, dan lengkap karena itu sebagai syarat atau sarana untuk menghubungkan manusia dengan sang pencipta, dan roh nenek moyang kami. Begitu juga ketika ritual sudah selesai, kita harus makan bersama sebagai wujud kebersamaan dan syukur, jelas Ladin, tua tautn (kepala tahun) kampung Banta.

Tujuan Naek Dangeng tidak hanya memanggil roh padi, namun juga memohon pada Jubata (Tuhan) agar kampung aman, damai dan tenteram, terhindar dari segala penyakit. Menurut tua tautn, ritual ini juga termasuk upacara tolak bala. “Jika kita sudah selesai melakukan ritual, kita akan merasa lebih nyaman dan tenang. Dan harapan kita juga, agar kegiatan bertani lancar dengan hasil panen padi yang memuaskan,” katanya.

Dalam ritual itu, tentu ada pantangan. Orang yang diperbolehkan mengikuti ritual adalah orang yang bersih. Bersih dalam arti tidak ada anggota keluarga yang meninggal tujuh hari sebelum acara ritual dilangsungkan. Dan pantangan itu berlaku selama tiga tahun. Begitu juga dengan wanita yang lagi menstuarsi, dia tidak dibolehkan mengikuti ritual saat itu.

Ritual bapadah
Satu hari sebelum ritual, ada upacara khusus yang istilah Dayak setempat disebut baremah atau bapadah yang artinya memberitau kepada roh yang mendiami tempat itu, bahwa esoknya akan ada upacara ritual besar ditempat tersebut. Pada saat ritual bapadah, yang menyediakan sarana upacara adalah tua tautn.  
 
Tua tautn adalah orang yang dipercaya warga dan dipilih dengan cara musyawarah dengan pertimbangan, bahwa orang tersebut cakap, mengerti adat-istiadat dan dapat membawa rasi yang baik bagi kampung, khususnya hasil panen padi yang melimpah.
Dalam ritual itu tidak banyak melibatkan warga. Hanya beberapa orang saja, terdiri dari tua tautn, satu orang panyangahatn, dan satu orang pembantu. Sarana ritual juga tidak banyak, hanya dengan menyediakan roba palantar dan satu ekor ayam kampung.