Selasa, 22 April 2014

Agus Frengky: Musik Tradisional Lebih Menantang



Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
SOSOK yang satu ini pasti tak asing lagi di mata para pelaku seni musik daerah di bumi Khatulistiwa. Agus Frengky, atau lebih dikenal sebagai Kentung, pria kelahiran Pontianak, 11 Agustus 1982, adalah seniman musik tradisional suku Dayak, yang cukup berprestasi. Sudah banyak karya yang lahir berkat pikiran dan tangan kreatfnya. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang baik dan menyenangkan, terutama dalam memberikan pelatihan atau pembinaan kepada generasi muda, maupun dalam pergaulan.

Agus Frengky sang "pareman dukun"
Dia juga salah satu dari sekian banyak seniman musik tradisional, yang memiliki peran  penting bagi perkembangan musik tradisional suku Dayak, terlebih di Kabupaten Kubu Raya. Beberapa prestasi berhasil ditorehkan untuk mengharumkan nama Kabupaten itu. Sebut saja, pada tahun 2007 terpilih sebagai juara dua Festival Sape’ se-Kalimantan Barat. Di tahun yang sama, ia menyabet juara dua Festival Beduk Kisbo.

Prestasinya pun berlanjut dengan menjuarai Festival Beduk Kisbo pada tahun 2008. Kemudian dia juga terpilih sebagai penata musik tari Dayak terbaik dalam pesta Gawai Dayak pada tahun 2013. Dan terakhir, ia meraih predikat sebagai penata musik terbaik lagu daerah di ajang Festival Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK) yang digelar September 2013 lalu, sebagai perwakilan Kabupaten Kubu Raya. 

“Aku cukup senang, bersama Kubu Raya, meraih prestasi itu, meskipun semuanya itu hanya di wilayah Kalbar. Apa lagi itu diraih dengan kerja keras, soalnya banyak pemain dan penata musik tradisional berkualitas di daerah ini. Mereka ikut bukan dengan kemampuan alakadarnya,” ungkap seniman musik yang pernah memiliki album yang berjudul “Pareman Dukun” ini.

Bagi Kentung, sebagai musisi musik daerah, makna prestasi yang diraihnya secara pribadi itu amat perlu, sebagai legalitas untuk pengakuan, layak atau tidak karya yang dibuat dan ditampilkan. Tapi itu bukan prioritas bagi dia, karena berkesenian tidak ada batas, itulah yang terpenting.

Memilih musik Dayak
Keinginannya untuk pentas memperkenalkan budaya Dayak di negeri orang, menjadi salah satu impiannya. Namun menurutnya itu tidak mudah, karena pastinya akan terbentur persoalan dana. Di Kalbar saja, tak mudah untuk membangun apresiasi masyarakat terhadap musik daerah. Banyak kegagalan yang mesti diterima. Terutama soal biaya pementasan, “Perlu biaya yang cukup besar untuk tampil. Jika tidak ada dukungan dari pihak-pihak terkait, itu amat sulit jika kita ingin menampilkan karya kita. Belum lagi kalau kita bicara pasar, dimana musik modern lebih mendominasi,” paparnya.

Meski  begitu, itu tak menghalangi niatnya untuk tetap semangat berkarya. Ia tetap memilih jalur musik yang merupakan akar budayanya, yaitu musik Dayak. Bahkan ia mengatakan lebih tertantang. “Musik daerah itu, terutama musik tradisional suku Dayak, lebih pentatonis. Alunan nadanya khas dan artistik. Lebih menantang, dan lebih bisa membuat kita berpikir, dibandingkan dengan musik diatonis, yang nadanya lengkap,” jelasnya fasih.

Di tengah kesulitan dalam mementaskan karya. Ia tetap berencana membuat pentas tunggal, murni karya sendiri. Kemudian ingin mengkoordinir para seniman atau pelaku seni muda, terutama di Kubu Raya, dengan menjadikan Betang Lingga sebagai pusat berkreativitas. Hal itu menurutnya sebagai wujud pelestarian seni budaya, meskipun sudah cukup berkembang, dimana anak-anak muda mulai tertarik, dan di sekolah sudah diajarkan secara khusus, bahkan sudah berani bereksplorasi dengan gaya barat.

“Itu sudah cukup membuktikan bahwa musik Dayak sudah mulai digemari. Eksplorasi dengan gaya barat, itu adalah proses kreativitas. Kita tidak bisa mengekang mereka menemukan hal-hal baru, yang dianggap lebih menarik. Namun kita tetap akan ingatkan, agar akar budaya yang sebenarnya itu tidak terlupakan,” katanya.

Ia juga berpesan kepada seniman musik daerah, agar tetap berkarya, merima keadaan, melakukan yang terbaik. “Kami para seniman punya moto, ‘jika hatimu bergetar melihat seni budayamu mulai punah, maka engkaulah saudaraku’. Artinya, getaran itu yang membuat semangat mengangkat budaya yang mulai punah,” jelasnya saat mengakhiri percakapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar