Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
SOSOK
yang satu ini pasti tak asing lagi di mata para pelaku seni musik daerah di
bumi Khatulistiwa. Agus Frengky, atau lebih dikenal sebagai Kentung, pria
kelahiran Pontianak, 11 Agustus 1982, adalah seniman musik tradisional suku
Dayak, yang cukup berprestasi. Sudah banyak karya yang lahir berkat pikiran dan
tangan kreatfnya. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang baik dan menyenangkan,
terutama dalam memberikan pelatihan atau pembinaan kepada generasi muda, maupun
dalam pergaulan.
![]() |
Agus Frengky sang "pareman dukun" |
Dia juga salah satu dari sekian banyak seniman musik
tradisional, yang memiliki peran penting bagi perkembangan musik tradisional suku Dayak, terlebih di Kabupaten Kubu Raya. Beberapa prestasi
berhasil ditorehkan untuk mengharumkan nama Kabupaten itu. Sebut saja, pada
tahun 2007 terpilih sebagai juara dua Festival Sape’ se-Kalimantan Barat. Di
tahun yang sama, ia menyabet juara dua Festival Beduk Kisbo.
Prestasinya
pun berlanjut dengan menjuarai Festival Beduk Kisbo pada tahun 2008. Kemudian dia
juga terpilih sebagai penata musik tari Dayak terbaik dalam pesta Gawai Dayak pada
tahun 2013. Dan terakhir, ia meraih predikat sebagai penata musik terbaik lagu
daerah di ajang Festival Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK) yang digelar September
2013 lalu, sebagai perwakilan Kabupaten Kubu Raya.
“Aku
cukup senang, bersama Kubu Raya, meraih prestasi itu, meskipun semuanya itu
hanya di wilayah Kalbar. Apa lagi itu diraih dengan kerja keras, soalnya banyak
pemain dan penata musik tradisional berkualitas di daerah ini. Mereka ikut bukan dengan kemampuan alakadarnya,” ungkap seniman musik yang pernah memiliki
album yang berjudul “Pareman Dukun” ini.
Bagi
Kentung, sebagai musisi musik daerah, makna prestasi yang diraihnya secara
pribadi itu amat perlu, sebagai legalitas untuk pengakuan, layak atau tidak karya
yang dibuat dan ditampilkan. Tapi itu bukan prioritas bagi dia, karena
berkesenian tidak ada batas, itulah yang terpenting.
Memilih musik Dayak
Keinginannya
untuk pentas memperkenalkan budaya Dayak di negeri orang, menjadi salah satu
impiannya. Namun menurutnya itu tidak mudah, karena pastinya akan terbentur
persoalan dana. Di Kalbar saja, tak mudah untuk membangun apresiasi masyarakat
terhadap musik daerah. Banyak kegagalan yang mesti diterima. Terutama soal
biaya pementasan, “Perlu biaya yang cukup besar untuk tampil. Jika tidak ada
dukungan dari pihak-pihak terkait, itu amat sulit jika kita ingin menampilkan
karya kita. Belum lagi kalau kita bicara pasar, dimana musik modern lebih
mendominasi,” paparnya.
Meski
begitu, itu tak menghalangi niatnya untuk tetap semangat berkarya. Ia tetap
memilih jalur musik yang merupakan akar budayanya, yaitu musik Dayak. Bahkan ia
mengatakan lebih tertantang. “Musik daerah itu, terutama musik tradisional suku
Dayak, lebih pentatonis. Alunan nadanya khas dan artistik. Lebih menantang, dan
lebih bisa membuat kita berpikir, dibandingkan dengan musik diatonis, yang
nadanya lengkap,” jelasnya fasih.
Di
tengah kesulitan dalam mementaskan karya. Ia tetap berencana membuat pentas
tunggal, murni karya sendiri. Kemudian ingin mengkoordinir para seniman atau
pelaku seni muda, terutama di Kubu Raya, dengan menjadikan Betang Lingga
sebagai pusat berkreativitas. Hal itu menurutnya sebagai wujud pelestarian seni budaya, meskipun sudah cukup berkembang, dimana anak-anak muda mulai tertarik, dan di sekolah sudah diajarkan secara khusus, bahkan sudah berani bereksplorasi dengan gaya barat.
“Itu sudah cukup membuktikan bahwa musik Dayak sudah mulai digemari. Eksplorasi
dengan gaya barat, itu adalah proses kreativitas. Kita tidak bisa mengekang
mereka menemukan hal-hal baru, yang dianggap lebih menarik. Namun kita tetap akan
ingatkan, agar akar budaya yang sebenarnya itu tidak terlupakan,” katanya.
Ia
juga berpesan kepada seniman musik daerah, agar tetap berkarya, merima keadaan,
melakukan yang terbaik. “Kami para seniman punya moto, ‘jika hatimu bergetar
melihat seni budayamu mulai punah, maka engkaulah saudaraku’. Artinya, getaran
itu yang membuat semangat mengangkat budaya yang mulai punah,” jelasnya saat
mengakhiri percakapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar