Duta
Kebudayaan yang Hidup Merana
Oleh:
Tiberias Antonius Sutatian
Apresiasi
dari pihak-pihak terkait tak begitu menguntungkan dirinya. Hanya puluhan piagam
yang ia miliki hasil perjalanan budaya ke rantau. Itu jadi bukti dan cerita
bagi anak cucunya kelak, bahwa dia telah berkarya untuk mempertahankan dan
memperkenalkan identitas Dayak dihadapan bangsa lain.
Tak Ada yang Salah
Meski hidup pas-pasan, ia tetap
bersyukur dan tidak pernah menyalahkan siapa-siapa terkait kondisinya itu, atau
mengharapkan apresiasi yang melimpah. Namun karena rasa tanggungjawab, ia tetap
berharap, ketika ia pergi diutus memperkenalkan kebudayaan suku Dayak,
anak-anak dan istri yang ia tinggalkan dibantu saat ada kesulitan.
“Kalau
saya pergi, tolonglah keluarga yang saya tinggalkan di rumah diperhatikan.
Janganlah sampai ketika saya pergi istri saya telpon bilang dirumah sudah
kehabisan beras. Hal itu sering terjadi kalau saya pergi dengan waktu yang
cukup lama,” ujarnya lirih terlihat sedih.
Terkadang
ia pun biasanya menjawab dengan getir keluhan istrinya.
“Hutang dulu di toko. Tunggu saya pulang baru bayar,” tutur
dia menirukan apa
yang telah diucapkan pada istri kala itu.
“Kalau saya sih tidak jadi soal, karena sudah terbiasa hidup
susah sejak kecil,” kenangnya.
Tahun
2012, Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis mengangkatnya sebagai duta budaya.
“Saya semakin merasa bertanggungjawab atas kelestarian budaya kita. Bahkan saya
punya mimpi akan terbentuknya kampung budaya di Kabupaten Bengkayang, yang bisa
dijadikan wadah untuk pelestarian dan pengembangan budaya yang ada di
Bengkayang. Untuk mewujudkan itu tidak mungkin saya, tapi pihak pemerintah
daerah,” katanya seraya tersenyum.
Menjadi
seorang duta budaya, bukanlah tanpa dibarengi keterampilan atau pengetahuan alakadarnya.
Ia mahir melukis dan mematung, ia juga ahli dalam membuat pakaian tradisional
Dayak dari kulit kayu. Bermain alat musik sape’ juga cukup ia
kuasai. Ketrampilan menari menjadi modal
utamanya untuk
menarik perhatian.
Meskipun
di beberapa media sosial dia disebut “The
King Of Dayak”, dia tak besar kepala atau merasa lebih hebat dari orang
lain. Menurut dia di atas langit masih ada langit sebagai pribahasa bahwa masih
ada yang lebih hebat darinya.
“Orang
yang menjuluki saya seperti itu. Saya tidak pernah menjuluki diri saya. Saya
hanya melakukan apa yang harus saya lakukan, yaitu memperkenalkan budaya Dayak
ke dunia luar, kemanapun saya diutus,” ungkap pria yang bernama lengkap Petrus
Lengkong.
Belajar Sejak Dini
Sejak usia 13 tahun, Petrus mengaku
sudah mulai menunjukan kecintaannya pada budaya Dayak. Dengan berguru pada
beberapa orang yang memiliki keahlian khusus waktu itu, hanya untuk memperdalam
pengetahuan tentang budaya Dayak. Terbukti dengan niatnya belajar, ia dapat
melafalkan mantera pelaksana adat (panyangahatn).
"Dahulu tidak ada yang kaya dan yang miskin,” tutur dia mengingat masa-masa itu.
Bagi
Petrus, orang Dayak zaman dahulu luarbiasa. Mereka mampu menggunakan keahlian,
kepintaran atau kemampuan mereka untuk berbuat baik, menolong masyarakat. Dan
ia menilai pergeseran itu mulai sejak adanya kepercayaan modern.
“Agama
itu jangan disamakan dengan budaya. Budaya Dayak itu tidak ada yang mengajarkan
hal yang jahat. Jangan mentang-mentang kita memiliki anutan baru. Budaya dan
adat yang membesarkan kita, ditinggalkan. Lupa akan akarnya,” katanya.
Di
ujung percakapan dia berpesan, “cintailah budaya-mu, dan cintailah
alam-mu, karena itu akan memberikan keseimbangan dalam hidup, meskipun tidak
ada manusia yang tidak mati. Dan ingatlah, jangan rusak alam, karena alam itu
memiliki roh sama seperti manusia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar