Sabtu, 19 April 2014

Duta Kebudayaan yang Hidup Merana



Duta Kebudayaan yang Hidup Merana
Oleh: Tiberias Antonius Sutatian


ORANG-orang di sekitarnya biasa memanggil lelaki kelahiran Bengkayang tahun 1942 itu Petrus. Dia telah menempuh perjalanan panjang di bidang kebudayaan dan cukup luar biasa. Beberapa negara sudah dijelajahinya sebagai duta budaya, antara lain Jerman, Belanda, Thailand, Hongkong, dan Malaysia. Namun sumbangsih besar itu berbanding terbalik dengan kehidupan ekonominya. Bersama keluarganya, dia tinggal di sebuah rumah yang amat memprihatinkan kondisinya. Sungguh tak tentram hatinya karena sewaktu-waktu dia dapat diusir pergi lantaran lahan rumahnya dalam sengketa.

 Apresiasi dari pihak-pihak terkait tak begitu menguntungkan dirinya. Hanya puluhan piagam yang ia miliki hasil perjalanan budaya ke rantau. Itu jadi bukti dan cerita bagi anak cucunya kelak, bahwa dia telah berkarya untuk mempertahankan dan memperkenalkan identitas Dayak dihadapan bangsa lain.

Tak Ada yang Salah
Meski hidup pas-pasan, ia tetap bersyukur dan tidak pernah menyalahkan siapa-siapa terkait kondisinya itu, atau mengharapkan apresiasi yang melimpah. Namun karena rasa tanggungjawab, ia tetap berharap, ketika ia pergi diutus memperkenalkan kebudayaan suku Dayak, anak-anak dan istri yang ia tinggalkan dibantu saat ada kesulitan.

“Kalau saya pergi, tolonglah keluarga yang saya tinggalkan di rumah diperhatikan. Janganlah sampai ketika saya pergi istri saya telpon bilang dirumah sudah kehabisan beras. Hal itu sering terjadi kalau saya pergi dengan waktu yang cukup lama,” ujarnya lirih terlihat sedih.

Terkadang ia pun biasanya menjawab dengan getir keluhan istrinya. “Hutang dulu di toko. Tunggu saya pulang baru bayar,” tutur dia menirukan apa yang telah diucapkan pada istri kala itu. Kalau saya sih tidak jadi soal, karena sudah terbiasa hidup susah sejak kecil,” kenangnya.

Tahun 2012, Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis mengangkatnya sebagai duta budaya. “Saya semakin merasa bertanggungjawab atas kelestarian budaya kita. Bahkan saya punya mimpi akan terbentuknya kampung budaya di Kabupaten Bengkayang, yang bisa dijadikan wadah untuk pelestarian dan pengembangan budaya yang ada di Bengkayang. Untuk mewujudkan itu tidak mungkin saya, tapi pihak pemerintah daerah,” katanya seraya tersenyum. 

Menjadi seorang duta budaya, bukanlah tanpa dibarengi keterampilan atau pengetahuan alakadarnya. Ia mahir melukis dan mematung, ia juga ahli dalam membuat pakaian tradisional Dayak dari kulit kayu. Bermain alat musik sape’ juga cukup ia kuasai. Ketrampilan menari  menjadi modal utamanya untuk menarik perhatian. 

“Menari tidak harus belajar dari seseorang. Dari alam pun kita bisa belajar,” ujar dia. Petrus memang kerap mengamati gerak gerik burung, tupai dan daun yang meliuk tertiup angin. Lalu dia pun mengolahnya jadi tarian. “Semua tarian saya bermula dari alam. Dan nenek moyang kita juga dulu semua yang mereka lakukan diawali dari alam, itulah mengapa orang Dayak dekat dengan alam. Maka jagalah alam kita,” katanya mengingatkan. 

Meskipun di beberapa media sosial dia disebut “The King Of Dayak”, dia tak besar kepala atau merasa lebih hebat dari orang lain. Menurut dia di atas langit masih ada langit sebagai pribahasa bahwa masih ada yang lebih hebat darinya. 

“Orang yang menjuluki saya seperti itu. Saya tidak pernah menjuluki diri saya. Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan, yaitu memperkenalkan budaya Dayak ke dunia luar, kemanapun saya diutus,” ungkap pria yang bernama lengkap Petrus Lengkong.

Belajar Sejak Dini
Sejak usia 13 tahun, Petrus mengaku sudah mulai menunjukan kecintaannya pada budaya Dayak. Dengan berguru pada beberapa orang yang memiliki keahlian khusus waktu itu, hanya untuk memperdalam pengetahuan tentang budaya Dayak. Terbukti dengan niatnya belajar, ia dapat melafalkan mantera pelaksana adat (panyangahatn).

Hatinya sedih melihat kenyataan bahwa budaya orang Dayak saat ini mengalami pergeseran. “Dulu, orang Dayak punya kebiasaan, jika ada orang yang datang ke rumah, kami tidak mau orang tersebut tidak diberi makan, pulang kelaparan. Bahkan tamu itu akan diberi bekal untuk diperjalanan. Orang Dayak itu sangat baik, dan memiliki rasa kebersamaan, kalau berburu dapat satu akan dibagi rata dengan warga kampung. 

"Dahulu tidak ada yang kaya dan yang miskin,” tutur dia mengingat masa-masa itu.
Bagi Petrus, orang Dayak zaman dahulu luarbiasa. Mereka mampu menggunakan keahlian, kepintaran atau kemampuan mereka untuk berbuat baik, menolong masyarakat. Dan ia menilai pergeseran itu mulai sejak adanya kepercayaan modern.

“Agama itu jangan disamakan dengan budaya. Budaya Dayak itu tidak ada yang mengajarkan hal yang jahat. Jangan mentang-mentang kita memiliki anutan baru. Budaya dan adat yang membesarkan kita, ditinggalkan. Lupa akan akarnya,” katanya.

Di ujung percakapan dia berpesan, cintailah budaya-mu, dan cintailah alam-mu, karena itu akan memberikan keseimbangan dalam hidup, meskipun tidak ada manusia yang tidak mati. Dan ingatlah, jangan rusak alam, karena alam itu memiliki roh sama seperti manusia.”  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar