Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
Ferdinan saat latihan persiapan pementasan |
MUSIK adalah
satu diantara seni
yang paling
digemari oleh semua kalangan, tetapi
kesenangan seseorang mendengarkan dan memainkan alat musik terkadang tergantung pada aliran musiknya. Ada yang
menyukai jenis musik
tradisional,
dan ada pula yang menyukai jenis musik modern.
Pada dasarnya, musik bukan hanya sekedar media berekspresi dan hiburan
semata. Musik dapat digunakan sebagai sarana pendidikan, sumber inspirasi dan
bagian dari profesi. Pada zaman dahulu musik dijadikan sarana pemujaan/ritual oleh beberapa sub suku Dayak. Meski kini masih ada, namun di era modernisasi seperti sekarang, faham-faham dan ideologi tradisi itu mulai tergeser. Agar tidak terlupakan, berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan identitas itu, diantaranya dengan megkemasnya menjadi etnikprogresif, yaitu jenis aliran musik yang menggabungkan alat musik tradisional dan modern. Jenis aliran ini tak jauh beda dengan perkusi.
Untuk mempelajari aliran etnikprogresif melalui proses panjang, teratur, disiplin, sabar dan
melalui tahapan. Dimulai dari pemahaman musik tradisi hingga ke kreasi. Maka tak heran, jika sedikit anak muda yang mau menggandrungi jenis aliran musik tersebut atau membuat group, belum lagi jika ada pertimbangan soal pasar dunia musik (profit orientid).
Di Kalimantan Barat, kini hanya group Ngampar Bide yang mengusung
aliran etnikprogresif.
Jika pun ada yang lain, tak banyak yang mampu bertahan. Apalagi jika minim
kreativitas dalam berkarya dan kurang berani ekplorasi semua jenis alat musik.
Group Ngampar Bide dibentuk dan di composer oleh seorang seniman muda alumnus ISI Yogyakarta,
Ferdinan, S.Sn atau
yang lebih dikenal dengan sapaan
Mbah Dinan.
Mungkin karena pemahaman dan selalu ada ide baru, membuat group ini tetap
bertahan. Beberapa
kali pertunjukan sudah dilakoni oleh group musik yang satu ini, bahkan sering
menjuarai event lokal.
Sebagai composer yang
berasal dari Kalimantan Barat, Mbah
Dinan memilih alat musik
tradisional suku Dayak sebagai media untuk berkarya. Hasil
karyanya pun terkadang menghasilkan komposisi suara atau alunan musik ritual etnik
Dayak yang amat khas.
· Sadar tak mampu bersaing
Meskipun Mbah Dinan sadar betul, bahwa penggemar musik tradisional saat ini
sangat minim, tidak seperti penggemar musik modern. Tetapi Mbah Dinan tetap
semangat berkarya untuk memperkenalkan dan melestarikan musik-musik tradisional
suku Dayak. Berbagai upaya dilakukan,
terutama bereksperimen dengan menggabungakan alat musik tradisional suku
Dayak dengan alat musik modern. “Hal itu dilakukan guna memperindah komposisi
alunan suara yang dihasilkan, dan tentunya salah satu strategi untuk menarik
perhatian pencinta musik, dengan tidak melepas akar budaya lokal. Ini sebagai
wujud pelestarian budaya juga,” ungkap pria berusia 38 tahun ini.
Mempelajari etnikprogresif perlu kesabaran |
Membentuk sebuah group musik bukanlah persoalan sulit bagi lulusan jurusan
etnikmusikologi ini. Buktinya sudah banyak karya yang telah dipentaskan, yang
lahir dari tangannya. Bukan hanya untuk wilayah Kalimantan Barat saja, namun
sering juga mengadakan pertujukan musik diberbagai daerah luar pulau
Kalimantan. Tentu hal ini merupakan hasil kreatifitas yang membanggakan karena
telah memperkenalkan musik tradisional suku Dayak kepada orang luar.
“Terkadang hasil kreatifitas itu sangat tidak sebanding dari apa yang
ditampilkan. Namun bagi kami para pelaku seni, dapat membuat orang lain senang,
adalah kebahagian dan kesenangan juga buat kami. Ada nilai tersendiri disitu,” tuturnya fasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar