Sabtu, 19 April 2014

Nabo’ Pantak, Mohon Berkat Roh Leluhur



Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
BEBERAPA bocah nampak berlari di pelataran rumah mereka di kampung Angkamu, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Liburan kenaikan kelas tinggal beberapa hari lagi, nampaknya sayang terlewatkan begitu saja, apalagi pagi itu memang cukup cerah, amat cocok untuk memulai aktifitas apa-pun diluar rumah. 

Ditengah teriakan ceria para bocah yang sedang bermain. Sekitar pukul 10, lima orang pria dewasa nampak melintas dengan langkah santai, sambil menjinjing perlengkapan sesaji, menuju tempat pemujaan yang ada di salah satu sudut kampung. Sebuah ritual tradisi nampak segera digelar, mengikuti kepercayaan masyarakat Dayak setempat.

Tinus bertugas sebagai imam (panyangahatn)
Tak lama waktu berselang. Seorang pria paruh baya bernama Tinus duduk bersila menghadap sarana ritual (roba palantar), yang diletakan dilantai semen tempat penyembahan. Ia ditunjuk sebagai imam (panyangahatn) pada upacara ritual itu. Persis di hadapannya ada dua buah patung (pantak) yang dibuat dengan posisi kedua tangan direntangkan. Konon, menurut kepercayaan warga, pantak tersebut merupakan tempat bersemayam roh nenek moyang. Dia adalah tokoh Dayak yang memiliki kepandaian dimasa kehidupannya, menjadi penjaga atau pelindung kampung dari serangan musuh, dan dia adalah jawara yang bergelar (pangalima). Kini warga mengabadikannya menjadi sebuah patung yang amat dihormati, disakralkan dan diyakini memiliki kekuatan magis yang bisa mengabulkan permohonan.

Suasana-pun terdengar ramai ketika mulut Tinus mulai komat-kamit mengucapkan mantra dengan nada yang cukup keras, hal itu menarik perhatian beberapa pria dewasa dan anak-anak warga setempat. Merekapun berdatangan menyaksikan prosesi itu, meski itu bukanlah acara ritual besar tahunan, namun rasa kebersamaan-lah yang mendorong dan membuat mereka terpanggil untuk membantu. Tanpa diperintah, mereka turut bergotong royong membersihkan dan memotong ilalang yang tumbuh di sekitar tampat pemujaan.

“Ini hanya ritual memohon berkat kepada roh leluhur, karena saya akan menempati rumah baru. Memohon agar rumah yang saya tempatkan bersama seluruh anggota keluarga dapat memberikan kenyamanan, kebahagiaan, kesehatan dan pencaharian dimudahkan,” ungkap Dodi, pria yang melakukan ritual, (14/7/2013) lalu.

Sarana ritual (roba palantar)
Warga memang kerap melakukan ritual yang sama saat akan menempati rumah baru, saat melaksanakan pesta pernikahan dan sunatan. Sarana atau peralatan ritual-nya sederhana saja. Mereka wajib menyediakan seekor ayam jantan, sebutir telur ayam, beras lemang (sunguh), beras biasa (palawakng) masing-masing satu piring. Kemudian beras banyu (beras yang dicampur minyak seadanya), beras kuning kunyit juga seadanya, sepotong buah tengkawang yang sudah kering, satu uang logam, dan sirih. Perangkat ritual inilah yang dinamakan roba palantar oleh masyarakat Dayak Kanayatn.

Mengganti pakaian dan menyuapi
Salah satu rangkaian dalam ritual tersebut. Pelaksana adat dan orang yang melangsungkan ritual wajib mengganti pakaian pantak dengan kain warna merah dan putih yang baru. Mereka pun mesti mengolesi sekujur tubuh pantak itu dengan minyak, serta menyuapinya dengan nasi, dibantu oleh beberapa orang warga yang hadir.

Warga membantu memasang kain pada pantak
“Adat seperti ini adalah wajib dilakukan oleh orang yang meminta. Jadi tidak hanya meminta, tapi kita juga harus memberi apa yang seharusnya diberikan kepada roh nenek-moyang, dan ini juga sebagai wujud penghormatan kita kepada leluhur,” ungkap Tinus.

Setelah ritual selesai, acara makan bersama adalah adat, tradisi dan budaya Dayak Kanayatn, sebelum kembali kerumah masing-masing. Kebersamaan amat terasa, dengan canda dan tawa. “Sesuai dengan adat kita orang Dayak, ini sebagai cerminan kebersamaan masyarakat. Sebagai lauknya adalah hewan yang dikurbankan di tempat pelaksanaan ritual. Inilah adat kita,” jelas Tinus singkat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar