Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
BEBERAPA
bocah nampak berlari di pelataran rumah mereka di kampung Angkamu, Kecamatan
Menyuke, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Liburan kenaikan kelas tinggal
beberapa hari lagi, nampaknya sayang terlewatkan begitu saja, apalagi pagi itu
memang cukup cerah, amat cocok untuk memulai aktifitas apa-pun diluar rumah.
Ditengah
teriakan ceria para bocah yang sedang bermain. Sekitar pukul 10, lima orang
pria dewasa nampak melintas dengan langkah santai, sambil menjinjing
perlengkapan sesaji, menuju tempat pemujaan yang ada di salah satu sudut
kampung. Sebuah ritual tradisi nampak segera digelar, mengikuti kepercayaan
masyarakat Dayak setempat.
Tinus bertugas sebagai imam (panyangahatn) |
Tak
lama waktu berselang. Seorang pria paruh baya bernama Tinus duduk bersila
menghadap sarana ritual (roba palantar),
yang diletakan dilantai semen tempat penyembahan. Ia ditunjuk sebagai imam (panyangahatn) pada upacara ritual itu. Persis
di hadapannya ada dua buah patung (pantak)
yang dibuat dengan posisi kedua tangan direntangkan. Konon, menurut
kepercayaan warga, pantak tersebut
merupakan tempat bersemayam roh nenek moyang. Dia adalah tokoh Dayak yang memiliki
kepandaian dimasa kehidupannya, menjadi penjaga atau pelindung kampung dari
serangan musuh, dan dia adalah jawara yang bergelar (pangalima). Kini warga mengabadikannya menjadi sebuah patung yang
amat dihormati, disakralkan dan diyakini memiliki kekuatan magis yang bisa
mengabulkan permohonan.
Suasana-pun
terdengar ramai ketika mulut Tinus mulai komat-kamit mengucapkan mantra dengan
nada yang cukup keras, hal itu menarik perhatian beberapa pria dewasa dan
anak-anak warga setempat. Merekapun berdatangan menyaksikan prosesi itu, meski
itu bukanlah acara ritual besar tahunan, namun rasa kebersamaan-lah yang mendorong dan membuat mereka terpanggil
untuk membantu. Tanpa diperintah, mereka turut bergotong royong membersihkan dan
memotong ilalang yang tumbuh di sekitar tampat pemujaan.
“Ini
hanya ritual memohon berkat kepada roh leluhur, karena saya akan menempati
rumah baru. Memohon agar rumah yang saya tempatkan bersama seluruh anggota
keluarga dapat memberikan kenyamanan, kebahagiaan, kesehatan dan pencaharian
dimudahkan,” ungkap Dodi, pria yang melakukan ritual, (14/7/2013) lalu.
Sarana ritual (roba palantar) |
Warga
memang kerap melakukan ritual yang sama saat akan menempati rumah baru, saat
melaksanakan pesta pernikahan dan sunatan. Sarana atau peralatan ritual-nya
sederhana saja. Mereka wajib menyediakan seekor ayam jantan, sebutir telur
ayam, beras lemang (sunguh), beras
biasa (palawakng) masing-masing satu
piring. Kemudian beras banyu (beras yang dicampur minyak seadanya), beras
kuning kunyit juga seadanya, sepotong buah tengkawang yang sudah kering, satu uang
logam, dan sirih. Perangkat ritual inilah yang dinamakan roba palantar oleh masyarakat Dayak Kanayatn.
Mengganti pakaian dan menyuapi
Salah
satu rangkaian dalam ritual tersebut. Pelaksana adat dan orang yang melangsungkan
ritual wajib mengganti pakaian pantak
dengan kain warna merah dan putih yang baru. Mereka pun mesti mengolesi sekujur
tubuh pantak itu dengan minyak, serta
menyuapinya dengan nasi, dibantu oleh beberapa orang warga yang hadir.
Warga membantu memasang kain pada pantak |
“Adat
seperti ini adalah wajib dilakukan oleh orang yang meminta. Jadi tidak hanya
meminta, tapi kita juga harus memberi apa yang seharusnya diberikan kepada roh
nenek-moyang, dan ini juga sebagai wujud penghormatan kita kepada leluhur,” ungkap
Tinus.
Setelah
ritual selesai, acara makan bersama adalah adat, tradisi dan budaya Dayak
Kanayatn, sebelum kembali kerumah masing-masing. Kebersamaan amat terasa,
dengan canda dan tawa. “Sesuai dengan adat kita orang Dayak, ini sebagai
cerminan kebersamaan masyarakat. Sebagai lauknya adalah hewan yang dikurbankan
di tempat pelaksanaan ritual. Inilah adat kita,” jelas Tinus singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar