Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
![]() |
Keleng dengan gerobaknya yang sudah reot |
Jarum
jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Orang-orang nampak letih lantaran mentari
bersinar amat terik. Siang itu Selasa, 27/8/2013, suasana Bumi Khatulistiwa tak
ubahnya seperti beberapa tahun terakhir, selalu panas hingga membuat dahaga.
Seperti
sudah jadi keharusan, setiap lewat tengah hari, orang-orang pergi ke warung
untuk melepas lelah. Demikian pula dengan Darmaji, atau Keleng, sapaan akrab pria tua berpakaian
lusuh itu. Dia nampak berteduh di sebuah bangunan semi permanen tak jauh dari
pusat perbelanjaan kelas menengah atas di Kota Pontianak.
Keringat
terus mengucur hingga membasahi bajunya yang sudah usang. Sesekali dia menyeka wajahnya dengan
topi yang ia gunakan untuk menghindari kepalanya dari terpaan sinar matahari.
Dia nampak benar-benar letih. Namun senyum tetap terkembang tatkala menatap
orang-orang yang tengah memperhatikannya. Dia tetap santai, tak perduli apa yang orang lain pikirkan terhadap dirinya.
Tak
lama kemudian, dia memesan makanan, nasi putih, sepotong ikan laut dan segelas
minuman segar menjadi menunya. Tak ada janji bertemu dengannya siang itu. Namun
sebagaimana orang kecil lain, Keleng tak peduli. Seolah tak ada halangan
baginya ketika menjawab pertanyaan soal liku-liku hidup dan hal-hal pribadinya.
Pada
pertemuan yang tidak terencana itu, dia bertutur banyak soal kisah
hidupnya. Tak ada yang dia tutupi, baik asal usul maupun cara bertahan hidup di Kota Pontianak. Hidup di Ibukota Kalimantan Barat ini, semakin berat, biaya
hidup terus membumbung. Apalagi bagi pria
usia 60 tahun asal Kecamatan Ambawang Lingga, Kabupaten Kubu Raya itu, yang hari-harinya dihabiskan memungut sampah dengan gerobak tua,
berkeliling disudut-sudut Kota, hanya untuk mengais rejeki dari barang tak berguna bagi pemiliknya.
Di
usainya yang menjelang senja itu, dia terus bersemangat bekerja. Entah mengapa dan sampai kapan
bisa terus seperti itu, Kaleng sendiri tak pernah tahu, dia tidak punya jawaban. Dia tak peduli
sekalipun kebanyakan orang menganggap pilihan hidupnya itu hina. “Karaja bagago'
nto makatn ja..” (artinya: kerja buat nyari makan saja), ungkapnya lirih seraya tersenyum, dalam bahasa Dayak Ahe.
Sepenuhnya dia sadar, sehebat dan segiat apapun seorang
pemulung bekerja, penghasilannya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan lain,
selain untuk mengganjal perut. “Kerja
maksa, karena tuntutan hidup. Pingin rasanya mau istirahat, tapi kalau tidak kerja apa yang mau dimakan, ini soal isi
perut,” ungkapnya dengan nada bergetar, dan wajah terlihat sedih. Dia mengaku, mungkin hanya dia sendiri dari suku Dayak yang menjadi pemulung di Kota Pontianak.
Kendati
terus bekerja dari menjelang pagi hingga subuh, kehidupan ekonominya tetap saja tidak ada perubahan. Dan bahkan tubuhnya kini terlihat tidak kuat lagi, jalannya mulai gontai. Namun
semangatnya masih tetap kuat melakoni pekerjaan itu tanpa rasa jenuh, meskipun sudah hampir 19 tahun ia melakukan itu, memungut sampah dan barang-barang bekas. Lelah
dan panas ia
hadapi, tapi semuanya itu bukanlah halangan baginya, meski dia mengakui karena tuntutan hidup yang memaksanya harus begitu.
Pernah
terpikir dibenaknya, suatu saat usia memaksa harus berhenti bekerja. Dimana
tangannya tak mampu lagi menarik beban berat, dan saat itu otot kakinya tak
kuat lagi menopang tubuh dan membawanya kesana kemari. Siapa
yang akan menghidupinya. Atau saat jatuh sakit, siapa yang akan merawatnya.
Sementara dia tidak punya anak dan istri, karena tidak menikah. Tunjangan hidup
atau tabungan, serta rumah pun dia juga tidak punya. Sungguh mengerikan bila
saat itu benar-benar tiba. “Tidur
saja diemperan ruko, dan saat matahari terbit saya harus
bergegas agar tidak mengganggu aktifitas orang. Demikian seterusnya, dan saya
tidak tau ini sampai kapan,” .
Batasi makan
![]() | |
Keleng harus menyisakan makanannya |
Sepanjang
hari bekerja, penghasilan yang dia peroleh paling banter cuma 15.000 Rupiah.
Uang sepeser itu membatasinya untuk makan enak. Jangankan makan enak, mengisi
perut dengan makanan layak pun jarang dia rasakan.
Paling
banyak cuma sepuluh ribu Rupiah dia belanjakan untuk membeli makanan saban
harinya. Makanan yang dia terima dari penjual tak langsung dia habiskan.
Sebagian disimpan untuk makan malamnya. “Setiap
hari, kalau saya makan di warung saya batasi. Jangan sampai mengeluarkan uang
lebih dari sepuluh ribu. Malam saya juga perlu makan agar kerja ada tenaga”.
Kadang
dia mendapatkan lebih, karena ada orang yang mau berbaik hati menyuruh
mengangkut sampah rumah tangga untuk dibuang. Upah yang dia dapatkan dari itu
dua ribu hingga lima ribu rupiah. Pemberian itu cukup baginya untuk tersenyum.
Dia selalu yakin Tuhan selalu mengatur rezki buatnya.
Prinsip
hidup yang tumbuh di benaknya adalah terus bekerja hingga tubuh berhenti
bergerak. Dia sadar cuma ini yang dapat dilakukan untuk bertahan. Bagaimanapun,
baginya memulung sampah lebih baik ketimbang menjulurkan tangan memohon belas kasihan
kepada orang lain.
“Saya
cuma bisa lakukan itu. Mau pulang ke kampung juga tidak ada usaha atau lahan
untuk bertani. Sudah habis terjual waktu susah oleh orang tua. Paling ada
sedikit sisa. Buat saudara saya yang tinggal disana saja tidak cukup. Rumah
orang tua saya dulu juga sudah dibongkar, jadi mau tinggal dimana,” ungkap
lelaki yang pernah menikmati pendidikan hingga sekolah menengah atas itu. “Ini
adalah upaya terakhir, tak ada lagi cara lain yang bisa saya lakukan. Hidup dan mati saya kelak ada ditangan Tuhan”. Sungguh miris, di tanah yang katanya kaya raya ini, masih ada orang pribumi yang mengais rejeki ditanah leluhurnya pada tumpukan sampah..Apakah ada yang salah dengan cara memimpin pemimpin kita? Hanya Tuhan dan dia sendirilah yang tau.
Dalam
kesusahan hidupnya, dia menyimpan impian akan rumah tinggal sederhana dan
nyaman di hari tuanya. Entah ini mimpi yang tak bakal terwujud atau harapan
yang bakal jadi kenyataan, dia tak terlalu pusing, meskipun ajal menjemputnya dipembaringan yang hanya beralaskan tanah tanpa dinding.
Tuhan memberkatimu Keleng.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar