Selasa, 29 April 2014

Sarang Semut Tampil Memukau



Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
Pentas tunggal Sarang Semut
Kelompok musik yang bernama Sarang Semut, tampil memukau di hadapan sekitar dua ratus lebih penonton, pada pementasan yang digelar di gedung pertunjukan Taman Budaya Pontianak, Sabtu malam (8/3/2014).

Pementasan yang bertajuk “Ngaranto Niti Abut” ini, merupakan pentas tunggal perdana kelompok musik yang dibentuk 2007 lalu, oleh UKM Universitas Tanjung Pura. “Tema itu kita ambil dari bahasa Dayak Kanayatn, mengisahkan sebuah perjalanan tentang kehidupan manusia Dayak dan keindahan Kalimantan. Dan itu merupakan ilustrasi keindahan hutan, gunung, perbukitan, danau dan sungai, yang pada kenyataannya kini sudah tidak indah lagi,” jelas Ferdinan, S.Sn, penata musik Sarang Semut.

“Konsep karya ini juga menggambarkan tentang kearifan masyarakat Dayak, dalam memanfaatkan dan memandang alam sebagai ibu, yang merupakan sumber penghidupan mereka di dunia, dan mesti dijaga,” ungkap alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.

Aransemen musik yang dia garap menggambarkan bagaimana manusia memiliki kerentanan pikiran, dan ketidakpastian dalam keputusan. Dalam diri manusia terdapat dunia-dunia kecil yang mengelilingi pikiran, rasa, lalu mengendap dalam kontemplasi absurd perjalanan batin. Dan itulah yang mesti dijalani dengan tanggungjawab.

“Pementasan ini merupakan pengembangan musik Dayak Kanayatn, Kayan Mendalam, dan Rumpun Ibanik, guna memberi daya rangsang edukasi terhadap kreativitas di kalangan generasi muda. Lalu untuk mengembangkan intelektualitas kekaryaan di bidang musik daerah, dan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kekayaan nilai estetik dalam musik tradisi,” pungkasnya.

Dia menjelaskan, “Ngaranto Niti Abut” juga merupakan sebuah asa dalam perjalanan. Sebuah protes dalam doa mengenai keterpurukan hutan dan manusia Dayak, karena terbakar kebodohan, danau dan sungai yang bersenggama dengan limbah, tak ada lagi hutan yang perawan, hingga nampak wajah-wajah kuyu yang mengharap damai. Dan manusia Dayak harus dihadapkan pada sebuah kenyataan, dengan berdusta tentang kejayaan Kalimantan.

“Kita menjadi asing dan buta di tanah kita sendiri. Ternyata kita telah diludahi oleh angkuhnya pembangunan, dan tertipu celoteh manis saudara kita sendiri. Kini, kita tersesat di ladang sendiri. Dan pada akhirnya damai itu hanya wacana, tempat untuk membuang segala keluh kesah dan sumpah serapah,” katanya dengan nada tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar