Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
![]() |
Pentas tunggal Sarang Semut |
Kelompok
musik yang bernama Sarang Semut, tampil memukau di hadapan sekitar dua ratus
lebih penonton, pada pementasan yang digelar di gedung pertunjukan Taman Budaya
Pontianak, Sabtu malam (8/3/2014).
Pementasan
yang bertajuk “Ngaranto Niti Abut” ini, merupakan pentas tunggal perdana
kelompok musik yang dibentuk 2007 lalu, oleh UKM Universitas Tanjung Pura.
“Tema itu kita ambil dari bahasa Dayak Kanayatn, mengisahkan sebuah perjalanan
tentang kehidupan manusia Dayak dan keindahan Kalimantan. Dan itu merupakan
ilustrasi keindahan hutan, gunung, perbukitan, danau dan sungai, yang pada
kenyataannya kini sudah tidak indah lagi,” jelas Ferdinan, S.Sn, penata musik
Sarang Semut.
“Konsep
karya ini juga menggambarkan tentang kearifan masyarakat Dayak, dalam
memanfaatkan dan memandang alam sebagai ibu, yang merupakan sumber penghidupan
mereka di dunia, dan mesti dijaga,” ungkap alumni Institut Seni Indonesia
Yogyakarta ini.
Aransemen
musik yang dia garap menggambarkan bagaimana manusia memiliki kerentanan
pikiran, dan ketidakpastian dalam keputusan. Dalam diri manusia terdapat
dunia-dunia kecil yang mengelilingi pikiran, rasa, lalu mengendap dalam
kontemplasi absurd perjalanan batin. Dan itulah yang mesti dijalani
dengan tanggungjawab.
“Pementasan
ini merupakan pengembangan musik Dayak Kanayatn, Kayan Mendalam, dan Rumpun
Ibanik, guna memberi daya rangsang edukasi terhadap kreativitas di kalangan generasi
muda. Lalu untuk mengembangkan intelektualitas kekaryaan di bidang musik
daerah, dan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kekayaan nilai estetik dalam
musik tradisi,” pungkasnya.
Dia
menjelaskan, “Ngaranto Niti Abut” juga merupakan sebuah asa dalam
perjalanan. Sebuah protes dalam doa mengenai keterpurukan hutan dan manusia
Dayak, karena terbakar kebodohan, danau dan sungai yang bersenggama dengan
limbah, tak ada lagi hutan yang perawan, hingga nampak wajah-wajah kuyu yang
mengharap damai. Dan manusia Dayak harus dihadapkan pada sebuah kenyataan,
dengan berdusta tentang kejayaan Kalimantan.
“Kita
menjadi asing dan buta di tanah kita sendiri. Ternyata kita telah diludahi oleh
angkuhnya pembangunan, dan tertipu celoteh manis saudara kita sendiri. Kini,
kita tersesat di ladang sendiri. Dan pada akhirnya damai itu hanya wacana,
tempat untuk membuang segala keluh kesah dan sumpah serapah,” katanya dengan
nada tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar