Oleh:
Tiberias Antonius Sutatian
PANAS
menyengat (9/5/2013) lalu seolah tak jadi persoalan bagi orang-orang yang lalu
lalang di jalanan. Seorang teman yang bersama-ku juga nampak tak peduli dengan
keringat yang mengucur di tubuh dan membasahi bajunya. Tujuan kami lebih
penting ketimbang kesulitan kecil itu.
Anak-anak Betang Bingge |
Rumah
Betang Bingge, begitu orang-orang biasa menyebutnya. Itulah tempat tujuan
kami. Disana sebagian kecil sejarah perabadan suku Dayak Kanayatn dimulai.
Letaknya tak jauh dari Rumah
Betang Sahapm yang amat terkenal itu. Bahkan masih satu Dusun diwilayah administrasi
Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Panjang
rumah Betang Bingge sekitar 54 meter dengan sembilan buah pintu. Artinya dulu
ada sembilan kepala keluarga yang hidup di bawah satu atap. Kini rumah itu ditempati
oleh 7 kepala keluarga, dengan jumlah 37 jiwa terdiri dari dewasa, remaja dan
anak-anak. Berbagai alasan yang menyebabkan tempat itu ditinggalkan,
diantaranya adalah kondisi rumah yang sudah tidak aman lagi ditempati.
Meski
sebagian ruas jalan sedang dalam perbaikan, dan sedikit menghambat. Tapi itu
tak mempengaruhi bayangan yang ada dikepalaku tentang Betang Bingge, lantaran kisah-kisah
menakjubkan dalam bangunan itu. Sepi, seperti tak berpenghuni, itulah kesan
pertama yang aku jumpai ketika sampai di tempat tujuan. Tak satupun orang yang terlihat
beraktivitas di luar rumah. Hanya gonggogan se-ekor anjing kecil menyambut
kehadiran-ku dengan tatapan curiga. Dari arah bawah hanya terlihat beberapa
helai pakaian di atas jemuran, petanda bahwa masih ada yang mendiami. Hutan
dengan pohon-pohon besar tampak disekelilingnya.
Sayang
mahakarya warisan leluhur suku Dayak Kanayatn tersebut sudah tak terawat.
Nampak dari luar, dinding yang terbuat dari kayu sudah rusak. Meski begitu
masih tampak menakjubkan. Ratusan kayu ulin yang masih terlihat dibentuk dengan
peralatan kampak, berjejer rapi menopang bangunan dengan arsitektur melebar
kesamping, dan dengan tinggi sekitar 3 meter dari permukaan tanah. Menurut
penuturan warga, usia bangunan sekitar 200 tahun lebih, namun itu sulit
dibuktikan. Perkiraan itu hanya mengacu pada bahan kayu ulin yang menjadi
pondasi dan kerangka bangunan.
Di
depan bangunan utama berdiri lima buah lumbung padi, yaitu bangunan kecil yang
sudah tampak tua. Dindingnya terbuat dari kulit kayu (kopak), atap menggunakan kisap, dan ada pula dari daun sagu. Tiang
penyangga dari kayu ulin setinggi dua meter.
Agak
lama kami berdiri di luar tanpa ada seorang pun menyambut. “Naiklah…”, sapa
seorang nenek tanpa baju yang tiba-tiba memperlihatkan wajahnya dibalik jendela
yang terbuka lebar, dengan suara bergetar yang mungkin karena usia. Ia nampak lelah,
namun senyum ramah masih terpancar diwajahnya meski kulit sudah mengeriput.
Tanpa
menunggu tawaran kedua, perlahan aku menaiki satu persatu anak-anak tangga
setinggi 3 meter. “Ayo jangan malu-malu,” seloroh Sartiman, teman yang kala itu
menjadi tour guid dadakan.
Sesampai
dipelataran, terlihat jemuran padi di atas lantai teras dengan beralaskan bide (sejenis tikar yang terbuat dari
rotan) yang tadinya tidak terlihat dari arah bawah. Kuayunkan kakiku dengan
perlahan dan penuh hati-hati. Takut salah sedikit melangkah bisa membuat
celaka, karena kayu yang dijadikan lantai sudah mulai terlihat rapuh dimakan usia.
Setelah
sedikit melawati hambatan itu, aku masuk untuk melihat apa yang ada di
dalamnya. Ternyata ada beberapa wanita dan anak-anak sedang bercengkrama, yang
kemudian mengalihkan pandangan ke arah-ku bersama teman.
Sambil
melangkah menuju ke tempat mereka bersantai, mataku tetap melihat ke sana
ke mari, dengan harapan ada inspirasi yang bisa dibawa pulang dan diterapkan.
Berbagai macam pikiran muncul di benak. Bagiku, ini peninggalan yang luar biasa,
bukti kerja sama dan solidaritas masyarakat Dayak dimasa lalu. Banyak
yang terlihat masih asli, terutama tiang yang menggunakan kayu ulin, dengan
ukuran 16×16 cm. Tak hanya itu, beberapa dindingnya masih menggunakan kulit
kayu yang lebarnya sekitar 2,5 cm. Di atasnya banyak terdapat beberapa anyaman dari
bahan bambu, yang dibuat oleh beberapa penghuni.
![]() |
Lorong Betang Bingge |
“Nyari
siapa,” tanya seorang wanita muda dengan ramah, sambil mempersilahkan duduk.
Setelah memperkenalkan diri, suasana keakraban pun mulai terjalin. Mereka
sangat terbuka, mau berbagi cerita tentang pengalaman hidup di rumah warisan
leluhur mereka. “Yah,
beginilah kehidupan dan tempat tinggal kami. Kayu-kayunya sudah mulai rapuh.
Dulu ada bantuan pemerintah untuk merenovasi, tapi inilah hasilnya. Karena
menggunakan kayu yang tidak bagus,” kata Leni Yuliana, wanita berusia 37 tahun
yang tinggal di rumah betang itu. Mungkin itu adalah sentuhan pertama yang sampai
sekarang tidak pernah mereka rasakan lagi.
Setelah
cukup lama berbincang, aku meminta izin melihat ke dalam ruangan keluarga.
Cukup mencengangkan. Isi rumah sangat sederhana. Bahkan bagian belakang atau
dapur, dindingnya sudah tidak layak lagi, atapnya sudah terlihat bocor,
tertembus sinar matahari dan hujan. Tempat memasak masih tradisional,
menggunakan kayu, dan tungku dari batu. Di atasnya tersusun rapi beberapa kayu
bakar, tempat garam, penyedap rasa, dan jagung yang tergantung nampak mulai
mengering karena panas api tungku. Serta beberapa anyaman yang digunakan untuk
peralatan dapur.
![]() |
Seorang nenek menyalakan api untuk memasak |
Seorang
nenek terlihat sibuk menyalakan api di atas tungku, memersiapkan untuk memasak
nasi. Dua buah bambu seukuran pergelangan kaki orang dewasa yang katanya berisi
daun singkong tumbuk disandarkan pada tungku batu. Dia menyapa-ku dengan ramah
dan mempersilahkan duduk bersantai.
Waktu telah menunjukan pukul 4 sore, beberapa pria dewasa tiba sepulang dari aktivitas mereka.
Setelah saling memperkenalkan diri, kami mulai berbagi cerita. Suasana menjadi
sedikit ramai, keakraban semakin terasa, bahkan tawa lepas terdengar ketika ada
hal lucu yang dibicarakan. Sambutan yang sangat ramah, jarang terjadi ditempat
lain. “Warga
di sini pada dasarnya sangat terbuka dengan siapa pun yang berkunjung di tempat
ini. Tapi terkadang kami malu, karena kondisi bangunan ini sudah banyak yang
mengalami kerusakan,” kata Hanafi, yang ternyata adalah pengurus adat (pangaraga) Betang Bingge.
“Kami
berharap, pihak pemerintah mau memberikan sedikit bantuan kepada kami untuk
segera merenovasi tempat ini sebelum roboh. Karena bagaimana-pun juga ini
merupakan cagar budaya, identitas, rumah adat, dan awal keberadapan kita,” ucap
pria usia 51 tahun ini lirih, sambil meneguk secangkir teh panas. Dan
mengatakan tetap akan bertahan, walau-pun akan roboh.
Rumah
Betang Bingge bisa dijadikan satu paket wisata dengan Betang Sahapm, bahkan tak
jauh dari tempat itu, ada Riam Ramadi yang bisa dijadikan tempat wisata alam.
Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh tentu akan menghemat waktu dan tenaga para
pelancong (pengunjung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar