Minggu, 20 April 2014

Betang Bingge, Warisan yang Terlupakan



Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
PANAS menyengat (9/5/2013) lalu seolah tak jadi persoalan bagi orang-orang yang lalu lalang di jalanan. Seorang teman yang bersama-ku juga nampak tak peduli dengan keringat yang mengucur di tubuh dan membasahi bajunya. Tujuan kami lebih penting ketimbang kesulitan kecil itu.

Anak-anak Betang Bingge
Rumah Betang Bingge, begitu orang-orang biasa menyebutnya. Itulah tempat tujuan kami. Disana sebagian kecil sejarah perabadan suku Dayak Kanayatn dimulai.  Letaknya tak  jauh dari Rumah Betang Sahapm yang amat terkenal itu. Bahkan masih satu Dusun diwilayah administrasi Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Panjang rumah Betang Bingge sekitar 54 meter dengan sembilan buah pintu. Artinya dulu ada sembilan kepala keluarga yang hidup di bawah satu atap. Kini rumah itu ditempati oleh 7 kepala keluarga, dengan jumlah 37 jiwa terdiri dari dewasa, remaja dan anak-anak. Berbagai alasan yang menyebabkan tempat itu ditinggalkan, diantaranya adalah kondisi rumah yang sudah tidak aman lagi ditempati.

Meski sebagian ruas jalan sedang dalam perbaikan, dan sedikit menghambat. Tapi itu tak mempengaruhi bayangan yang ada dikepalaku tentang Betang Bingge, lantaran kisah-kisah menakjubkan dalam bangunan itu. Sepi, seperti tak berpenghuni, itulah kesan pertama yang aku jumpai ketika sampai di tempat tujuan. Tak satupun orang yang terlihat beraktivitas di luar rumah. Hanya gonggogan se-ekor anjing kecil menyambut kehadiran-ku dengan tatapan curiga. Dari arah bawah hanya terlihat beberapa helai pakaian di atas jemuran, petanda bahwa masih ada yang mendiami. Hutan dengan pohon-pohon besar tampak disekelilingnya.

Sayang  mahakarya warisan leluhur suku Dayak Kanayatn tersebut sudah tak terawat. Nampak dari luar, dinding yang terbuat dari kayu sudah rusak. Meski begitu masih tampak menakjubkan. Ratusan kayu ulin yang masih terlihat dibentuk dengan peralatan kampak, berjejer rapi menopang bangunan dengan arsitektur melebar kesamping, dan dengan tinggi sekitar 3 meter dari permukaan tanah. Menurut penuturan warga, usia bangunan sekitar 200 tahun lebih, namun itu sulit dibuktikan. Perkiraan itu hanya mengacu pada bahan kayu ulin yang menjadi pondasi dan kerangka bangunan.

Di depan bangunan utama berdiri lima buah lumbung padi, yaitu bangunan kecil yang sudah tampak tua. Dindingnya terbuat dari kulit kayu (kopak), atap menggunakan kisap, dan ada pula dari daun sagu. Tiang penyangga dari kayu ulin setinggi dua meter.

Agak lama kami berdiri di luar tanpa ada seorang pun menyambut. “Naiklah…”, sapa seorang nenek tanpa baju yang tiba-tiba memperlihatkan wajahnya dibalik jendela yang terbuka lebar, dengan suara bergetar yang mungkin karena usia. Ia nampak lelah, namun senyum ramah masih terpancar diwajahnya meski kulit sudah mengeriput.

Tanpa menunggu tawaran kedua, perlahan aku menaiki satu persatu anak-anak tangga setinggi 3 meter. “Ayo jangan malu-malu,” seloroh Sartiman, teman yang kala itu menjadi tour guid dadakan.

Sesampai dipelataran, terlihat jemuran padi di atas lantai teras dengan beralaskan bide (sejenis tikar yang terbuat dari rotan) yang tadinya tidak terlihat dari arah bawah. Kuayunkan kakiku dengan perlahan dan penuh hati-hati. Takut salah sedikit melangkah bisa membuat celaka, karena kayu yang dijadikan lantai sudah mulai terlihat rapuh dimakan usia.

Setelah sedikit melawati hambatan itu, aku masuk untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Ternyata ada beberapa wanita dan anak-anak sedang bercengkrama, yang kemudian mengalihkan pandangan ke arah-ku bersama teman.

Sambil melangkah menuju ke tempat mereka bersantai, mataku  tetap melihat ke sana ke mari, dengan harapan ada inspirasi yang bisa dibawa pulang dan diterapkan. Berbagai macam pikiran muncul di benak. Bagiku, ini peninggalan yang luar biasa, bukti kerja sama dan solidaritas masyarakat Dayak dimasa lalu.  Banyak yang terlihat masih asli, terutama tiang yang menggunakan kayu ulin, dengan ukuran 16×16 cm. Tak hanya itu, beberapa dindingnya masih menggunakan kulit kayu yang lebarnya sekitar 2,5 cm. Di atasnya banyak terdapat beberapa anyaman dari bahan bambu, yang dibuat oleh beberapa penghuni. 

Lorong Betang Bingge
“Nyari siapa,” tanya seorang wanita muda dengan ramah, sambil mempersilahkan duduk. Setelah memperkenalkan diri, suasana keakraban pun mulai terjalin. Mereka sangat terbuka, mau berbagi cerita tentang pengalaman hidup di rumah warisan leluhur mereka. “Yah, beginilah kehidupan dan tempat tinggal kami. Kayu-kayunya sudah mulai rapuh. Dulu ada bantuan pemerintah untuk merenovasi, tapi inilah hasilnya. Karena menggunakan kayu yang tidak bagus,” kata Leni Yuliana, wanita berusia 37 tahun yang tinggal di rumah betang itu. Mungkin itu adalah sentuhan pertama yang sampai sekarang tidak pernah mereka rasakan lagi.

Setelah cukup lama berbincang, aku meminta izin melihat ke dalam ruangan keluarga. Cukup mencengangkan. Isi rumah sangat sederhana. Bahkan bagian belakang atau dapur, dindingnya sudah tidak layak lagi, atapnya sudah terlihat bocor, tertembus sinar matahari dan hujan. Tempat memasak masih tradisional, menggunakan kayu, dan tungku dari batu. Di atasnya tersusun rapi beberapa kayu bakar, tempat garam, penyedap rasa, dan jagung yang tergantung nampak mulai mengering karena panas api tungku. Serta beberapa anyaman yang digunakan untuk peralatan dapur.

Seorang nenek menyalakan api untuk memasak
Seorang nenek terlihat sibuk menyalakan api di atas tungku, memersiapkan untuk memasak nasi. Dua buah bambu seukuran pergelangan kaki orang dewasa yang katanya berisi daun singkong tumbuk disandarkan pada tungku batu. Dia menyapa-ku dengan ramah dan mempersilahkan duduk bersantai. 

Waktu telah menunjukan pukul 4 sore, beberapa pria dewasa tiba sepulang dari aktivitas mereka. Setelah saling memperkenalkan diri, kami mulai berbagi cerita. Suasana menjadi sedikit ramai, keakraban semakin terasa, bahkan tawa lepas terdengar ketika ada hal lucu yang dibicarakan. Sambutan yang sangat ramah, jarang terjadi ditempat lain. “Warga di sini pada dasarnya sangat terbuka dengan siapa pun yang berkunjung di tempat ini. Tapi terkadang kami malu, karena kondisi bangunan ini sudah banyak yang mengalami kerusakan,” kata Hanafi, yang ternyata adalah pengurus adat (pangaraga) Betang Bingge.

“Kami berharap, pihak pemerintah mau memberikan sedikit bantuan kepada kami untuk segera merenovasi tempat ini sebelum roboh. Karena bagaimana-pun juga ini merupakan cagar budaya, identitas, rumah adat, dan awal keberadapan kita,” ucap pria usia 51 tahun ini lirih, sambil meneguk secangkir teh panas. Dan mengatakan tetap akan bertahan, walau-pun akan roboh.

Rumah Betang Bingge bisa dijadikan satu paket wisata dengan Betang Sahapm, bahkan tak jauh dari tempat itu, ada Riam Ramadi yang bisa dijadikan tempat wisata alam. Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh tentu akan menghemat waktu dan tenaga para pelancong (pengunjung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar