Minggu, 20 April 2014

Sanggar Borneo Tarigas Penuh Perjuangan


Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
Sanggar Borneo Tarigas, saat latihan rutin
BANYAK sanggar yang telah terbentuk, namun hanya sedikit yang bisa bertahan. Apa penyebabnya tak banyak yang tahu persis, claim terhadap perubahan zaman atau modernisme dianggap faktor penyebab utama, namun masih adakah faktor lain. Nah, apa itu, dan apa solusinya? Gabriel Armando, pemuda Dayak (30) yang akrab sapa I’il, pendiri sekaligus koreogafi Sanggar Borneo Tarigas mencoba menjawab berdasarkan pengalaman.

“Pengaruh modernisme tak bisa terelakan, faktor itu seolah tak memberi ruang bagi budaya tradisi. Zaman semakin berkembang, maka semakin besar pula peluang hal-hal lama (tradisi) akan ditinggalkan. Karena itulah manusia dituntut untuk lebih cerdas dan cermat dalam mengimbanginya. Semakin manusia tidak peduli, semakin cepat pula budaya-budaya lokal itu terpinggirkan. Begitu juga dengan wadah-wadah kesenian seperti sanggar budaya, jika tidak ada strategi akan sulit bertahan dan berkembang,” jelas I’il lirih, tersenyum miris.

Menurutnya faktor modernisme bukanlah satu-satunya penyebab. Ada hal lain yang mesti diantisifasi, yaitu rasa tidak pedulian, tidak memiliki, dan tidak ada kecintaan terhadap kebudayaan, itu adalah persoalan yang mesti dipertimbangkan juga, karena bisa menjadi persoalan besar, terutama untuk mempertahankan sanggar. ”Sanggar itukan hanya berfungsi sebagai wadah kreatifitas, pelestarian budaya dan kearifan lokal, bukan berorientasi pada penghasilan. Nah, bagaimana mungkin sanggar itu bisa bertahan kalau tidak ada kepedulian, rasa memiiki dan rasa kecintaan terhadap budaya lokal. Itulah sebenarnya benteng terakhir kita,” ungkap penata tari kreasi terbaik pada, festival tari kreasi anak se-Indonesia di Surabaya 2013 lalu, mewakili Kalimantan Barat.

Ia berpendapat, kearifan lokal harus tetap dipertahankan, karena itu adalah ciri khas, karakteristik dan identitas suku bangsa. Ada semacam ke khawatirkan sanggar seni yang berorientasi kebudayaan lokal saat ini, yaitu kesempatan berpartisifasi dalam berbagai event, selain modernisme. Kemudian kurangnya fasilitas yang dimiliki, dan minimnya kreatifitas. Dan itu bisa berakibat pada semangat pelaku seni, sehingga tertahan pada intelektualistik semata, tidak ada hal yang baru, sehingga membuat sanggar itu meredup.

”Modernisme sudah terkonsep secara sistematis, negara di dunia sudah memainkan peran itu, sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka kita dipaksa menjadi pelaku modernisme itu.  Nah, agar tetap bertahan dan eksis ditengah jajahan itu, loyalitas, semangat, produktifitas yang tak mengenal batas dan lelah harus tertanam pada diri kita, seolah kita menutup mata terhadap keterbatasan yang dimiliki,” ungkapnya mengingatkan.

Sanggar Borneo Tarigas peraih Juara I pada Festival Lawang Kuari (2006) di Kabupaten Sekadau. 2008 juara umum Parade Busana Adat Nusantara di Jakarta, dan juara tiga tari Dayak pada Gawai Dayak di Yogyakarta di tahun yang sama. 2011 juara umum Gita Bahana Nusantara di Jakarta. 2013 juara dua tari kreasi Pekan Gawai Dayak di Pontianak, dan di tahun yang sama pada event yang sama, menjadi juara satu lomba melukis perisai.”Strategi agar tetap bertahan dan meraih prestasi adalah membangun kebersamaan dan melakukan hal-hal kreatif yang menyenangkan. Itu akan membangkitkan  semangat berkesenian”.

Tak hanya itu, Sanggar Borneo Tarigas juga selalu ambil bagian dalam kegiatan lain, terutama olah vokal. Pada tahun 2012, memperoleh medali emas pada lomba paduan suara etnik PESPARAWI tingkat Nasional di Kendari. 2013 juara umum vocal grup PEBUZA se-Kalimantan Barat. Dan masih banyak lagi prestasi lainnya. “Untuk meraih itu perlu perjuangan dan kerja keras, mana ada peraih prestasi tanpa dihadapkan dengan rintangan,” katanya.

Meski baru dikukuhkan pada tahun 2006 silam, sudah lebih dari 50 karya yang lahir dari sanggar ini, dan lebih 50 event juga telah di ikuti yang berakhir dengan hasil memuaskan. ”Ini merupakan suatu kebanggaan buat kita, karena mampu bertahan di tengah perkembangan zaman, dan bahkan mampu bersaing pada event tingkat Nasional. Kuncinya adalah kreatif,” kata ayah satu anak ini. “Saya berharap, generasi muda Dayak lebih mengenal budaya lokal mereka sendiri, merasa memiliki dan bertanggung jawab,” harapnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar