Oleh: Tiberias Antonius Sutatian
BANYAK
sanggar yang telah terbentuk, namun hanya sedikit yang bisa bertahan. Apa penyebabnya
tak banyak yang tahu persis, claim
terhadap perubahan zaman atau modernisme dianggap faktor penyebab utama, namun
masih adakah faktor lain. Nah, apa itu, dan apa solusinya? Gabriel Armando,
pemuda Dayak (30) yang akrab sapa I’il, pendiri sekaligus koreogafi Sanggar
Borneo Tarigas mencoba menjawab berdasarkan pengalaman.
“Pengaruh
modernisme tak bisa terelakan, faktor itu seolah tak memberi ruang bagi budaya
tradisi. Zaman semakin berkembang, maka semakin besar pula peluang hal-hal lama
(tradisi) akan ditinggalkan. Karena itulah manusia dituntut untuk lebih cerdas
dan cermat dalam mengimbanginya. Semakin manusia tidak peduli, semakin cepat
pula budaya-budaya lokal itu terpinggirkan. Begitu juga dengan wadah-wadah
kesenian seperti sanggar budaya, jika tidak ada strategi akan sulit bertahan
dan berkembang,” jelas I’il lirih, tersenyum miris.
Menurutnya
faktor modernisme bukanlah satu-satunya penyebab. Ada hal lain yang mesti
diantisifasi, yaitu rasa tidak pedulian, tidak memiliki, dan tidak ada kecintaan terhadap kebudayaan, itu
adalah persoalan yang mesti dipertimbangkan juga, karena bisa menjadi persoalan
besar, terutama untuk mempertahankan sanggar. ”Sanggar itukan hanya berfungsi
sebagai wadah kreatifitas, pelestarian budaya dan kearifan lokal, bukan berorientasi
pada penghasilan. Nah, bagaimana mungkin sanggar itu bisa bertahan kalau tidak
ada kepedulian, rasa memiiki dan rasa kecintaan terhadap budaya lokal. Itulah
sebenarnya benteng terakhir kita,” ungkap penata tari kreasi terbaik pada, festival
tari kreasi anak se-Indonesia di Surabaya 2013 lalu, mewakili Kalimantan Barat.
Ia
berpendapat, kearifan lokal harus tetap dipertahankan, karena itu adalah ciri khas,
karakteristik dan identitas suku bangsa. Ada semacam ke khawatirkan sanggar seni
yang berorientasi kebudayaan lokal saat ini, yaitu kesempatan berpartisifasi
dalam berbagai event, selain modernisme. Kemudian kurangnya
fasilitas yang dimiliki, dan minimnya kreatifitas. Dan itu bisa berakibat pada
semangat pelaku seni, sehingga tertahan pada intelektualistik
semata, tidak ada hal yang baru, sehingga membuat sanggar itu meredup.
Tak
hanya itu, Sanggar Borneo Tarigas juga selalu ambil bagian dalam kegiatan lain,
terutama olah vokal. Pada tahun 2012, memperoleh medali emas pada lomba paduan
suara etnik PESPARAWI tingkat Nasional di Kendari. 2013 juara umum vocal grup
PEBUZA se-Kalimantan Barat. Dan masih banyak lagi prestasi lainnya. “Untuk
meraih itu perlu perjuangan dan kerja keras, mana ada peraih prestasi tanpa
dihadapkan dengan rintangan,” katanya.
Meski
baru dikukuhkan pada tahun 2006 silam, sudah lebih dari 50 karya yang lahir
dari sanggar ini, dan lebih 50 event juga telah di ikuti yang berakhir dengan
hasil memuaskan. ”Ini merupakan suatu kebanggaan buat kita, karena mampu
bertahan di tengah perkembangan zaman, dan bahkan mampu bersaing pada event
tingkat Nasional. Kuncinya adalah kreatif,” kata ayah satu anak ini. “Saya berharap,
generasi muda Dayak lebih mengenal budaya lokal mereka sendiri, merasa memiliki
dan bertanggung jawab,” harapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar